A. Manusia Sebagai Mahluk Individu yang Belajar

Manusia lahir sebagai individu yang unik, yang sarnpai dengan hari ini tiada duanya. Namun sebagai seorang individu dia sekaligus adalah makhluk sosial, karena perkembangan sosialnya menceritakan perjuangannya untuk menjadi individu dengan haknya sendiri, yaitu sebagai seseorang yang menyatakan dirinya sebagai makhluk mandiri. Meskipun ketika lahir, dia sangat tergantung pada lingkungan sekitar dan seluruh perilakunya ditentukan oleh interaksi antara faktor genetis yang dibawa sejak lahir dan berbagai faktor lingkungan, belajar menjadi individu sepanjang perkembangannya dia “belajar menjadi individu” (Semiawan, Spirit Inovasi dalam Filsafat Ilmu,2009).

Pada kutub eksistensi psikologi individu, dia ingin menyatakan dirinya bercita-cita, berkembang dan tumbuh sesuai dengan dorongan yang ada pada dirinya (the drive to grow); namun pada pihak lain, sebagai makhluk sosial dia harus menyesuaikan dirinya bila ingin dihargai, diakui, dan menjadi bagian dari masyarakat, di mana ia hidup dan menjadi satu dengan masyarakat tersebut. Tumbuhlah “a sense of belonging” yang menjadikan dia merasa dirinya aman berperilaku, dan sifat serta sikapnya teraktualisasikan. Apa yang pada kala dia lahir masih merupakan potensinya, berubah (teraktualisasi) menjadi realitas nyata.

Identitas manusia (The identity of man) adalah buku yang ditulis oleh Bronowski yang oleh seorang artist digambarkan secara tepat melalui cover buku tersebut dengan menghadirkan gambar Monalisa, dan di atas gambar itu ada gambar otak, sebab otak manusialah yang memiliki plastisitas untuk menggambar lukisan yang tersohor itu. (ibid,181). Bronowski menulis bahwa manusia adalah unik bukan karena dia menguasai ilmu atau seni, namun karena ilmu dan seni adalah ekspresi dan kelenturan otaknya, dan manusia adalah species-specific (Bronowsky,1978).

B. Dampak Penelitian Neuroscience Terhadap Belajar

Dalam menjelaskan aktivitas mental, penelitian neuroscience, menghadirkan istilah cerebreactor. Dalam rangka mengkaji sifat otak manusia berkenaan dengan proses dan energinya seperti juga telah dikatakan tadi, cerebreactor diibaratkan analog dengan reaktor nuklir yang memberitahukan bagaimana energi diproses dalam sistem saraf. Melalui cerebreactor ditunjukkan bahwa konfigurasi lapangan energi intuisi berbeda dari lapangan energi pada saat orang berfikir rasional (reasoning).

Roger Wolcott Sperry, dalam penelitiannya tentang peta dasar proses mental, telah menemukan fungsi, respons dan sifat khusus masing-masing belahan otak. Belahan otak kanan lebih bersifat lateral (mengarah ke samping), dan divergen, sedangkan belahan otak kiri bersifat vertikal (mengarah ke atas), dan konvergen. Berfungsinya belahan otak kanan dalam kaitan dengan aktivitas mental ditandai oleh banyak kemungkinan jawaban (fungsi divergen) dalam menghadapi persoalan. Apabila tuntutan respons mengacu pada berfungsinya belahan otak kanan, potensi kreatif memperoleh peluang berkembang. Respons, fungsi, dan ciri belahan otak kanan lebih bersifat intuitif, holistik, multidimensional, kreatif, dan manusiawi (human). Belahan otak kiri lebih bersifat rasional, logis, teratur dan linier. Kedua belahan otak harus berkembang dalam keseimbangan melalui berbagai pengalaman belajar. Pengalaman belajar ini secara timbal balik (reciprocal) menunjuk pada kelenturan otak dan kelenturan perilaku manusia.

C. Penundaan Kepuasan Sesaat (Postponement of Gratification)

Frontal lobes otak kita yang memungkinkan kita berpikir imajinatif, mencakup juga kernampuan merancang masa depan kita. Kemampuan merancang sesuatu untuk masa depan dengan penundaan responsnya disebut secara bebas penundaan kepuasan sesaat (postponement of gratification).

Bronowski menambahkan bahwa dalam proses pengambilan keputusan pada manusia harus ada penundaan respons, agar terkumpul cukup pengetahuan dan informasi untuk mempersiapkan diri untuk bekal masa depan. Jadi, otak bukan saja instrumen untuk bertindak, melainkan juga untuk mempersiapkan diri, untuk perjalanan yang panjang dalam kehidupan.

Penanjakan kehidupan manusia tidak pernah berhenti. Penanjakan menunjukkan bahwa anak menjadi orang dewasa, bakat menjadi kemampuan, dan penanjakan bersumber dari imaginasi manusia. Semua itu kelihatan dalam berbagai peradaban. Namun, ada peradaban yang tidak mernberi cukup peluang pada orang muda untuk tumbuh kembang dengan membatasi kebebasan perkembangan imajinasi (kreativitas) seseorang. Peradaban seperti itu adalah statis, hal mana terjadi pada kebudayaan tertentu.

D. Moral Imagination dan Pendidikan

Ketidakmampuan ilmu untuk membuat makhluk yang menyamai manusia tiruannya melalui pan    suatu teknologi yang  sebut cloning, dengan mengedepankan segi moral yang melandasi setiap penemuan yang berdampak terhadap kehidupan manusia. Pernyataan yang amat mendalam maknannya dan mencerminkan segi moral yang melandasi  perkembangan berbagai ilmu, seyogianya bertujuan memacu peningkatan kesejahteraan manusia yang dapat dirasakan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kehidupan keluarga, masyarakat dan sekolah. Kepemimpinan intelektual (Intellectual leadership), yang dilandasi oleh moral imagination terejawantahkan dalam kepemimpinan seseorang yang terus-menerus terlibat dalam berbagai temuan ilmiah yang berdampak terhadap berbagai segment kehidupan masyarakatnya.

Berbagai temuan iptek yang kini kita hadapi ternyata benar tidak dapat dilihat terlepas dari masalah ekonomi dan pendidikan yang juga terkait dengan moral imagination. Dalam hubungan tersebut maka para ahli ekonomi di seluruh dunia telah memberikan kontribusi luar biasa terhadap pengertian kita tentang keputusan yang bersifat makro (macro decision) untuk mengadakan investasi dalam pengembangan ilniu untuk mengupayakan penanjakan kehidupan moral spiritual manusia, melalui pendidikan.

Meskipun pengembangan ilmu dan teknologi yang terkait dengan masalah ekonomi tidak bisa dilihat terlepas dari masalah pendidikan, amatlah naif memperkirakan bahwa perkembangan serta berbagai masalah iptek yang terkait dengan krisis ekonomi di seluruh dunia, dan terutama di Indonesia, semata-mata bersumber dan kondisi pendidikan saja. Pemikiran yang sangat linier tersebut tidak akan membawa terobosan (breakthrough) terhadap upaya pengembangan ilmu terkait dengan masalah pendidikan maupun kompleksitas permasalahan ekonomi, sosial dan politik.

E. Perkembangan Otak

Gen adalah sandi bagi proses otak dan body manusia dan memang sebagian tugasnya berfungsi sebagai cetak biru. Namun, perkembangan ilmu mutakhir menunjukkan bahwa gen memengaruhi protein, yang pada gilirannya memengaruhi aktivims molekuler. Sebaliknya tata cara hidup, lingkungan di mana kita berada mempunyai persepsi stres, yang pada gilirannya memengaruhi melepaskan cortisol, yang berakibat terhadap pesan protein yang mempengaruhi materi gen. Jadi cara kita mempersepsikan kehidupan (misalnya. stres), mempengaruhi reaksi badan terhadap kejadian menyebabkan badan menghasilkan hormon stres. Kita sebaliknya bisa memengaruhi otak dan ekspresi gen.

Jadi perkembangan otak memiliki nuansa terhadap kehidupan emosional seseorang. Menurut Goleman manusia memiliki berbagai aspek kehidupan emosional yang bersumber dari rasio (yaitu aspek intelektual), dan dari hati nurani (heart), yaitu kecenderungan emosional. Struktur lymbic (sumsum tulang belakang) menghidupkan perasaan tentang kesenangan dan keinginan seksual, yaitu emosi yang mewujudkan semangat seksual (sexual passion).

Robert Sternberg berbicara tentang inteligensi sebagai ekspresi fungsi otak bersifat multifaceted dan kontekstual (Sternberg,2004). Pengayaan inteligensi yang mencakup faktor kognisi, emosi, fisik dan faktor sosial, yang dikembangkan akan berfungsi makin ekstensif dan intensif dengan belajar sepanjang hayat. Dart sinilah timbul credo bahwa manusia memerlukan masa belajar dan masa anak yang panjang (a long childhood).

ooo 000 ooo