DEFINISI DAN KOMPONEN KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

  1. A. Pendahuluan

Pendidikan, kurikulum dan pengajaran merupakan tiga konsep yang harus dipahami dahulu, sebelum membahas pengembangan kurikulum. Sebab, pendidikan, kurikulum, pengajaran saling berhubujngan didalam tiga aspek tersebut. Pendidikan bertujuan untuk menggali potensi-potensi tersebut menjadi aktual. Pendidikan merupakan alat untuk memberikan rangsangan agar potensi-potensi manusia dapat berkembang optimal. Dalam hal ini pendidikan sering diartikan sebagai upaya manusia untuk memanusiakan manusia.

Proses pendidikan pada manusia pertama kali adalah dalam lingkungan keluarga. Pendidikan keluarga berlangsung secara informal, sadar atau tidak sadar berupa pengalihan pengalaman dari orangtua terhadap anak-anaknya dalam keluarga yang dilanjutkan pendidikan itu seterusnya dalam lingkungan sekolah yang formal.

Formalitas sekolah ditandai dengan peraturan yang mengikat peserta didik yang terlibat dalam proses tersebut, memiliki jenjang pendidikan sistem kronologis, mempunyai kurikulum dan sebagainya. Guru sebagai pendidik di sekolah mempersiapkan kinerja formalnya dengan rencana, rancangan yang matang, tujuan yang jelas, bahan-bahan yang tidak disusun secara sistematis, metode dan yang lainnya.

Ruang lingkup di sekolah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sistem kehidupan sosial yang sangat luas. Dalam pendidikan di sekolah pendidikannya dilakukan secara bertahap, mulai tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT), yang masing-masing tingkatannya mempunyai tujuan yang dikenal dengan tujuan institusional atau tujuan lembaga, yaitu tujuan yang harus dicapai oleh setiap jenjang lembaga pendidikan di sekolah.

Masing-masing tujuan institusi diperlukan adanya alat/sarana. Alat tersebut adalah kurikulum untuk mencapai tujuan setiap tujuan lembaga pendidikan. Inti kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan sekolah sekaligus syarat mutlak dari pendidikan sekolah. Isi dari kurikulum diantaranya pengetahuan ilmiah, kegiatan dan pengalaman belajar yang disusun sesuai dengan taraf perkembangan siswa.

Berdasarkan uraian tersebut, maka makalah ini bertujuan untuk mengetahui lebih jelas mengenai definisi/pengertian dan komponen apa saja yang ada dalam.

  1. B. Definisi Kurikulum

Kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yakni cucere yang berubah wujud menjadi kata benda curriculum. Kurikulum jama kata curricula, pertama kali dipakai dalam dunia atletik yang diartikan a Race Course, a Place For Runnung a Chariaot. Yakni, suatu alat yang membawa seseorang dari start sampai finish.

Kurikulum Dalam dunia pendidikan mempunyai arti (dalam arti sempit/tradisional) adalah sejumlah mata pelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi yang harus ditempuh untuk mendapat ijasah atau naik tingkat. Menurut Caster V. Good kurikulum adalah sekumpulan mata perlajaran atau sekwens yang bersifat sistematis yang diperlukan untuk lulus atau mendapatkan ijasah dalam bidang studi pokok tersebut. Sedangkan menurut Robert Jaiz kurikulum adalah serangkaian mata pelajaran yang harus dipelajari dan dikuasai.

Agar dapat diketahui posisi dan fungsi kurikulum dalam sistem pendidikan, berikut merupakan definisi kurikulum dari berbagai sumber yaitu:

  • Ronald Doon, kurikulum meliputi semua pengalaman yang disajikan murid dibawah bantuan atau bimbingan guru.
  • Wiliam B. Ragan, kurikulum adalah semua pengalaman murid dibawah tanggung jawab sekolah.
  • Horald Spears, kurikulum tersusun dari semua pengalaman murid yang bersifat actual dibahwah bimbingan sekolah, mata pelajaran yang ada hanya sebagian kecil dari program kurikulum.
  • Harold B. Alberty dan Elsie J. Alberty, kurikulum adalah segala kegiatan yang dilaksanakan sekolah bagi murid-murid.
  • Grayson, kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (out comes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman dan instruksi untuk mengembangkan strategi pembelajaran (Materi di dalam kurikulum harus diorganisasikan dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives) pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
  • Harsono, kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track atau jalur pacu. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan.

Beberapa definisi kurikulum tersebut diharapkan saling melengkapi, sehingga pemahaman tentang kurikulum menjadi semakin utuh, dan dapat dihindari kekeliruan yang mungkin muncul dalam penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum suatu program studi. Pada dasarnya kurikulum memuat tentang apa yang harus diketahui mahasiswa dan bagaimana cara mahasiswa memperolehnya. Kurikulum dikemas dalam 8 bentuk yang mudah dikomunikasikan kepada para pihak yang berkepentingan (stakeholders) di dalam institusi pendidikan, akuntabel, dan mudah diaplikasikan dalam praktik.

Menurut UU Sisdiknas tahun 2003, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Kurikulum merupakan “jalur pacu” atau “kendaraan” untuk mencapai tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan dari suatu program studi. Untuk itu kompetensi yang dimiliki oleh lulusan dan kurikulum dari suatu program studi perlu dirumuskan sesuai dengan tujuan pendidikan dan tuntutan kompetensi lulusan, sehingga lulusan program studi tersebut memiliki keunggulan komparatif di bidangnya. Kurikulum bersifat khas untuk suatu program studi, sebagaimana juga kekhasan tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan dari suatu program studi tersebut. Kesadaran penuh atas kekhasan kompetensi lulusan masing-masing program studi, diharapkan membuat para lulusan dari berbagai program studi yang berbeda dapat saling melengkapi dan bekerja sama.

  1. C. Fungsi Kurikulum

Fungsi-fungsi kurikulum diantaranya:

  1. a. Kurikulum dan tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan merupakan arah dari titik air dari setiap aktifitas manusia yang bernilai dari pendidikan. Tujuan pendidikan mempunyai jenjang mulai dari yang tinggi yaitu yang tujuan umum pendidikan sampai pada tujuan yang paling rendah (perubahan prilaku) yang diharapkan setelah program proses belajar mengajar.

  1. b. Kurikulum dan anak

Kegiatan danpengalaman yang akan disajikan kepada murid dibawah bimbingan sekolah/guru. Kegiatan dan pengalaman itu meliputi bidang pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan tertentu, fisik, psikis, moral dan keagamaan.

  1. c. Kurikulum dan guru

Guru adalah pelaksana kurikulum disekolah yang berisi jenis-jenis program petugas pelaksanaan dan alat-alat perlengkapan.

  1. d. Kurikulum dan Kepala Sekolah

Kepala sekolah sebagai supervisor dan administrator serta bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukum disekolah. Fungsi kurikulum disekolah diantaranyapedoman dalam pelaksanaan fungsi supervisor untuk memperbaiki situasi belajar, menciptakan situasi untuk menunjang situasi belajr dan memperbaiki situasi belajar anak yang lebih baik, dan sebagainya.

  1. e. Kurikulum dan orangtua

Pendidikan merupakan tanggungjawab sekolah, orangtua dan masyarakat. Fungsi kurikulum bagi orangtua diantaranya memberikan bantuan kepada orangtua murid untuk ikut serta dalam memberikan sumbangan dan bantuan guna memajukan pendidikan.

  1. f. Kurikulum dan jenjang sekolah diatasnya

Salah satu prinsip kurikulum adalah berkesinambungan. Dalam hal ini kurikulum dapat mengontrol dan memelihara kesinambungan proses pendidikan.

  1. g. Kurikulum dan masyarakat

Sekolah merupakan salah satu pranata social yang bertujuan untuk memberikan pengasuhan dan pendidikan peserta didik. Itulah sebabnya, sekolah sebagai bagian integral dari masyarakatnya harus mampu untuk menyesuaikan di masyarakatnya.

  1. D. Komponen Kurikulum

Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.

1. Tujuan

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

  • Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
  • Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
  • Survival; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.

Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan, yaitu:

  • Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  • Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  • Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.

Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.

Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :

  • Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan :
  • Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk:
  • Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa :
  • menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati;
  • menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan
  • memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
  • ketepatan atau ketelitian respons;
  • kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
  • kondisi atau lingkungan fisik; dan
  • kondisi atau lingkungan psikologis.

Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.

Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.

Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.

Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama. Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.

Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang.

  1. 2. Materi Pembelajaran

Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :

  1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
  2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
  3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
  4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
  5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
  6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
  7. Istilah; kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
  8. Contoh/ilustrasi; yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
  9. Definisi; yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
  10. Preposisi; yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.

Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.

Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel..

Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
  2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
  3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
  5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.

3. Strategi Pembelajaran

Telah disampaikan bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.

Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.

Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.

Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.

Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya. Berdasarkan uraian tersebut, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.

Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.

4. Organisasi Kurikulum

Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:

  1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
  2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
  3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
  4. Program yang berpusat pada anak (child centered); yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
  5. Inti Masalah (core program); yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
  6. Ecletic Program; yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.

Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu:

  • Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
  • Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
  • Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
  • Kelompok mata pelajaran estetika; dan
  • Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan

Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.

5. Evaluasi Kurikulum

Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum

Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”

Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.

Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”

Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.

Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu :

  • pendekatan penelitian (analisis komparatif);
  • pendekatan obyektif; dan
  • pendekatan campuran multivariasi.

Selain itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :

  1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
  2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
  3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
  4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.
  1. E. Penutup

Beberapa definisi kurikulum yang telah disampaikan diharapkan saling melengkapi, sehingga pemahaman tentang kurikulum menjadi semakin utuh, dan dapat dihindari kekeliruan yang mungkin muncul dalam penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum suatu program studi. Pada dasarnya kurikulum memuat tentang apa yang harus diketahui mahasiswa dan bagaimana cara mahasiswa memperolehnya. Kurikulum dikemas dalam 8 bentuk yang mudah dikomunikasikan kepada para pihak yang berkepentingan (stakeholders) di dalam institusi pendidikan, akuntabel, dan mudah diaplikasikan dalam praktik.

Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan.

Setelah kita memahami definisi dan komponen-komponen kurikulum, diharapkan kita bisa mengembangkan kurikulum secara terarah berdasarkan definisi dan komponen-komponen kurikulum tersebut.

===== 000 =====

REFERENSI

Barnadib, Imam. 2004. Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fadjar, Malik. 1998. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI.

Sudrajat, Akhmad, 2007. Komponen-Komponen Kurikulum,  (http://www.akhmadsudrajat.wordpress.com/bahan-ajar/komponen-komponen-kurikulum/, diakses tanggal 17 Oktober 2008).

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

MODEL KONSEP KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

  1. A. Pendahuluan

Perkembangan konsep kurikulum selalu mengikuti perkembangan zaman dan pada setiap negara sangat terkait dengan kebijakan yang diambil oleh penguasa. Khususnya di Indonesia, kurikulum selalu mengalami perubahan, hal ini disebabkan karena adanya adagium yang menyatakan bahwa “setiap ganti menteri pendidikan maka kurikulum akan berganti”.  Pada saat ini telah muncul Kurikulum 2006 atau kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Ia merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004.

Kurikulum yang sesungguhnya belum sepenuhnya dilaksanakan. Bahkan, di beberapa sekolah masih ada yang melaksanakan Kurikulum 1994. Sehingga dikhawatirkan kurikulum baru (KTSP) pun akan sama nasibnya dengan kurikulum-kurikulum lainnya. Sekadar catatan kurikulum yang pernah berlaku: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004. Pada awal abad ke 20, kurikulum merujuk kepada kandungan dan bahan pembelajaran yang berkembang yaitu ‘apa itu persekolahan’. Ahli progresif dan behaviourism pada abad ke 19 dan abad ke 20 memperbincangkan tentang  kurikulum dengan memasukkan unsur-unsur seperti  keperluan masyarakatan dan strategi-strategi pengajaran.

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apa saja model-model konsep kurikulum tersebut? Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengetahui model-model konsep kurikulum.

  1. B. Model-model Konsep Kurikulum

Menurut John D. Mc Neil ada empat macam konsep kurikulum, yaitu:

  • Kurikulum Humanistik
  • Kurikulum Rekontruksi Sosial
  • Kurikulum Teknologi
  • Kurikulum Subjek Akademik
  1. 1. Kurikulum Humanistik

Dalam pandangan humanisme, kurikulum adalah sesuatu yang dapat menunjang perkembangan anak dalam aspek kepribadiannya. Pengikut aliran ini meliputi pendidikan konfiuen, kritis radikal, dan mistisi baru.

Pendidikan konfiuen adalah pendidikan yang memandang anak sebagai suatu keseluruhan diri. Kritis radikal adalah pendidikan yang bersumber dari aliran naturalsime atau romantisme, yang menekankan pendidikan pada upaya untuk membantu anak menentukan dan mengembangkan diri segala potensi diri yang dimilikinya, dan menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkembang secara optimal. Dan mistikisme baru (modern) adalah aliran yang menekankan pada latihan, kepekaan, perasaan, budi pekerti atau menemukan nilai-nilai dalam latihan sensitivitas, meditasi dan teknik transpersonal lainnya.

Secara umum, kurikulum humanistic adalah :

  • Dikembangkan oleh ahli pendidikan humanistik
  • Berdasarkan teori pendidikan pribadi dari John Dewey dan J.J. Rousseau
  • Menempatkan siswa pada posisi pertama dan utama
  • Pendidikan diarahkan pada pembinaan manusia secara utuh
  • Tugas guru:menciptakan situasi yang permisif dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri

Untuk menggambarkan pendidikan infiuen, ada sejumlah ciri yang terdapat didalamnya, yaitu:

  • Adanya partisipasi
  • Integrasi
  • Relevansi
  • Self (pribadi anak)
  • Tujuan dari pendidikan

Sedangkan cirri-ciri kurikulum humanistik diantaranya adalah:

  1. Tujuan

Perkembangan pribadi yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar

  1. Metode

Menarik dan menciptakan situasi yang kondusif untuk belajar

  1. Organisasi

Integrasi intelektual, emosional, dan tindakan

  1. Evaluasi

Lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, tidak ada kriteria pencapaian, bersifat subjektif

Kelemahan kurikulum humanistik adalah menuntut guru untuk terus-menerus mengembangkan kreasi mengajarnya

  1. 2. Kurikulum Rekontruksi Sosial

Kurikulum ini lebih menekankan pada problem-problem yang dihadapi murid dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi kurikulum ini mengemukakan bahwa pendidikan bukanlah upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi dan kerja sama. Interaksi itu terjadi pada siswa dengan guru, siswa dengan siswa, siswa dengan orang dilingkungannyadan sumber-sumber belajar lainnya. Dengan kerja sama semacam ini, siswa dapat berusaha memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat dapat menjadi masyarakat yang lebih baik.

Secara umum, kurikulum rekontruksi social adalah:

  • Memusatkan perhatian pada masalah sosial
  • Berdasarkan teori pendidikan interaksionis (pendidikan sebagai kegiatan bersama)
  • Harold Rug (1920-an) melihat kesenjangan antara kurikulum dan masyarakat
  • Theodore Brameld (1950-an) menyampaikan gagasan rekonstruksi sosial (peran serta masyarakat dalam perkembangan dan pembaharuan masyarakat)

Karakteristik kurikulum rekontruksi sosial antara lain:

  1. Adanya tujuan

Tujuan kurikulum ini adalah menghadapkan anak didik dengan tantangan-tantangan hidup yang dihadapi manusia.

Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan adalah:

  • Mengadakan survei kritis terhadap masyarakat
  • Mengadakan staid tentang hubungan antara keadan ekonomi local dengan ekonomi nasional dan internasional
  • Mengadakan staid mengenai latar belakang historis dan kecendrungan perkembangan ekonomi dalam hubungannya dengan ekonomi local
  • Mengkaji praktek politik dalam hubungannya dengan factor-faktor ekonomi
  • Memantapkan rencana perubahan praktik politik
  • Mengevaluasi semua rencana
  1. Metode

Kegiatan belajar dipusatkan pada masalah-masalah sosial yang mendesak, dengan mengutamakan kerjasama.

  1. Organisasi

Disusun seperti sebuah roda, masalah sebagai tema utama terletak pada poros untuk dibahas secara pleno, tema utama tersebut dijabarkan dalam topik-topik yg dibahas secara berkelompok

  1. Evaluasi

Melibatkan siswa dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan

Kelemahan kurikulum rekonstruksi sosial adala sukar diterapkan dan kemampuan siswa berbeda-beda.

  1. 3. Kurikulum Teknologi

Penerapan teknologi dalam pendidikan, khususnya kurikulum meliputi dua bentuk, yaitu: Bentuk peranak lunak (soft ware) dan perangkat keras (hard ware). Penerapan teknologi lunak dikenalsebagai teknologi system, sedangkan teknologi perangkat keras dikenal dengan teknologi alat.

Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan penggunaan alat-alat teknologi untuk menunjang efesiensi dan efektifitas pendidikan.

Sedangkan dalam arti teknologi sebagai system, ini menekankan penyusunan program pengajaran tersebut bisa semata-mata system, dapat juga berupa perangkat system yang ditunjang dengan alat dan media, serta program system yang dipadukan dengan alat dan media pengajaran.

Secara umu, kurikulum teknologi adalah:

  • Berdasarkan pd teori teknologi pendidikan
  • Menekankan pada isi kurikulum yang diarahkan pada penguasaan kompetensi
  • Teknologi: hardware (tools technology) dan software (system technology)

Ciri-ciri kurikulum teknologi diantaranya:

  1. Tujuan

Diarahkan pd penguasaan kompetensi

  1. Metode

Bersifat individual, tapi ada juga tugas kelompok

  1. Pemahaman

Pemahaman terhadap materi lebih diutamakan

  1. Kegiatan

Adanya teori dan praktek

  1. Pengetahuan tentang hasil

Dilihat dari penguasaan dan materi dan praktek

  1. Organisasi

Diambil dari disiplin ilmu yang diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan kompetensi

  1. Evaluasi

Dilakukan setiap saat, pada akhir pelajaran,  unit, atau semester

  1. Model pengembangan kurikulum

Model pengembangan menggunakan teknologi

Kelemahan kurikulum teknologis adalah sulit diterapkan pada bahan ajar yg kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi, juga bahan ajar yang bersifat afektif dan sulit melayani bakat siswa untuk belajar dengan metode khusus

  1. 4. Kurikulum Subjek Akademik

Kurikulum ini merupakan tipe kurikulum yang tertua, sejak adanya sekolah hingga sekarang, meski telah berkembang sejumlahtipe lain, kebanyakan sekolah tidak dapat melepaskan tipe ini. Tipe kurikulum ini sangat praktis, mudah disusun, mudah dilaksanakan, dan mudah dievaluasi serta mudah digabungkan dengan tipe kurikulum lain.

Kurikulum subjek akademis direncanakan berdasarkan disiplin akademis sebagai titik tolak untuk mencapai ilmu pengetahuan. Jerome Brumer menyatakan, mempelajari disiplin ilmu harus menggunakan konsep-konsep dan disiplin-disiplin yang paling pundamental, yakni struktur ilmu tersebut.

Disamping itu terdapat tiga kecendrungan perkembangan kurikulum subjek akademis, yakni: Pertama, menggunakan pendekatan struktur pengetahuan. Dalam hal ini, siswa belajar memperoleh dan menguji fakta-fakta dan bukan sekedar mengingatnya. Kedua, studi yang bersifat integrative. Pendekatan ini merupakan respon terhadap perkembangan masyarakat yang menuntut model-model yang bersifat konprehensif. Ketiga, pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah fundamentalis. Maksudnya, mereka tetap mengajukanberdasarkan mata pelajaran dengan tekanan pada membaca, menulis dan memecahkan masalah-masalah matematis.

Secara umum, kurikulum subjek akademik adalah :

  • Model tertua, tapi masih dipakai
  • Berdasarkan pada teori pendidikan klasik
  • Lebih mengutamakan isi pendidikan
  • Guru: yang “digugu” dan “ditiru”
  • Menekankan pada pengembangan intelektual
  • Nama mata pelajaran sama dengan nama disiplin ilmu

Karekteristik kurikulum subjek akademik ini, adalah sebagai berikut:

  1. Tujuan fungsi

Tujuan kurikulum adalah melatih para siswa menggunakan ide-ide, gagasan-gagasan, dan proses-proses untuk memecahkan masalah-masalah secara ilmiah. Dengan menguasai pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, para siswa diharapkan dapat meneruskan konsep-konsep dan metode-metode lebih lanjut kepada masyarakat, setelah mereka menyelesaikan masyarakatnya.

  1. Metode
  • Exposition dan Inquisi (peragaan dan penemuan)
  • Problem solving appidac (pendekatan penyelesaian masalah)
  • Organisasi

Ada beberapa kemungkinan pola organisasi dalam kurikulum subjek akademik, diantaranya:

  1. Unified atau concrentrated

Topik-topik utama berperan dalam mengorganisasi subjek matter dari berbagai macam disiplin ilmu, misalnya aspek psikologi, fisika, kimia dan geologi.

  1. Integrated

Keterampilan yang dipelajari dari satu subjek matter digunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah dalam bidang ilmu lain. Misalnya matematika untuk memecahkan masalah-masalah ilmiah.

  1. Dalam organisasi ini dipelajari bagaimana konsep dalam suatu disiplin dihubungkan dengan konsep lain. Misalnya, Sejarah, Geografhi, Bahasa Inggris, dan sebagainnya.
  2. Comprehensif problem solving

Subjek materi ini tetap ada permasalahan diambil dari permasalahan sosial sehari-hari. Misalnya, riset, transportasi, rekreasi, dan konsumen.

Dasar-dasar organisasi yang menunjukan pengembangan ini termasuk:

  • Dari sederhana ke komplek
  • Keseluruhan menuju kebagian-bagian
  • Kronologi/urutan peristiwa
  • Jenjang belajar
  • Evaluasi dilakukan guna mengetahui penguasaan subjek matter (mate pelajaran)

Kelemahan kurikulum subjek akademis adalah kesulitan dalam pemilihan disiplin ilmu dan kurang memperhatikan karakteristik perkembangan siswa.

  1. C. Penutup

Perkembangan konsep kurikulum selalu mengikuti perkembangan zaman dan pada setiap negara sangat terkait dengan kebijakan yang diambil oleh penguasa. Khususnya di Indonesia, kurikulum selalu mengalami perubahan, hal ini disebabkan karena adanya adagium yang menyatakan bahwa “setiap ganti menteri pendidikan maka kurikulum akan berganti”.  Pada saat ini telah muncul Kurikulum 2006 atau kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Ia merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004

Menurut John D. Mc Neil ada empat macam konsep kurikulum, yaitu:

  • Kurikulum Humanistik
  • Kurikulum Rekontruksi Sosial
  • Kurikulum Teknologi
  • Kurikulum Subjek Akademik

===== 000 =====

REFERENSI

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

DESAIN KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

  1. A. Pendahuluan

Pembinaan kurikulum adalah kegiatan yang mengacu pada usaha untuk melaksanakan, mempertahankan, dan menyempurnakan kurikulum yang telah ada, guna memperoleh hasil yang maksimal. Pelaksanaan kurikulum sendiri diwujudkan dalam proses belajar mengajar sesuai dengan prinsip-prinsip dan tuntutan kurikulum yang dikembangkan sebelumnya bagi pendidikan/sekolah tertentu.

Dengan demikian, pembinaan kurikulum di sekolah dilakukan, setelah melalui tahap pengembangan kurikulum, atau setelah terbentuknya kurikulum baru.

Pengembangan kurikulum sebagai tahap lanjutan dari pembinaan, yakni kegiatan yang mengacu untuk menghasilkan suatu kurikulum baru. Dalam kegiatan tersebut meliputi penyususnan-penyusunan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan. Melalui tahap-tahap tersebut akan menghasilkan kurikulum baru. Dan dengan terbentuknya kurikulum baru, maka tugas pengembangan telah selesai.

Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses siklus yang tidak pernah ada titik awal dan akhirnya. sebab, pengembangan kurikulum ini merupakan suatu proses yang bertumpu pada unsure-unsur dalam kurikulum, yang didalamnya meliputi tujuan, metode, material, penilaian dan balikan (feed back).

Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini bertujuan untuk mengetahui desain apa saja yang ada dalam kurikulum.

  1. B. Subject Centered Curriculum (Berpusat pada Bahan Ajar)

Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimeni horizontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum (proses belajar mengajarnya). Dimensi vertikal menyangkut penyususnan sekuen bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran (penyusunannya dari mudah kesulit).

Kelebihan Subject Centered Curriculum (berpusat pada bahan ajar) diantaranya :

  • Mudah disusun, dilaksanakan , di evaluasi dan disempurnakan
  • Para pengajaranay tidak perlu persiapan khusus, , asal menguasai ilmu atau bahan yang diajarkan sering dipandang sudah dapat menyampaikannya.

Kekurangan Subject Centered Curriculum (berpusat pada bahan ajar) diantaranya :

  • Karena pengetahuan diberikan secara terpisah-pisah, hal itu bertentagan dengan kenyataan, sebab dalam kenyataan pengetahuan merupakan satu kesatuan
  • Karena mengutamakan bahan ajar maka peran serta didik sangat pasif.
  • Pengajaran lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu, dengan demikian pengajaran lebih bersifat verbalitas dan kurang praktis.

Bentuk perbaikan kurikulum Subject Centered Curriculum berpusat pada:

  1. The subject design
  2. The disciplines design
  3. The broad fields desaign
  • Materi pel disajikan secara terpisah
  • Pengetahuan siswa tidak terintegrasi, tapi terpisah-pisah
  • Kurang memperhatikan minat siswa
  • Penguasaan materi secara hapalan
  • Pengembangan dari subject design
  • Isi kurikulum berdasarkan disiplin ilmu
  • Siswa didorong utk memahami logika /struktur dasar suatu disiplin, memahami konsep,ide, dan prinsip penting
  • Meggunakan pendekatan inkuiri dan diskoveri
  • Memperbaiki  kelemahan dari yg sebelumnya
  • Menyatukan beberapa pelajaran  yg berhubungan
  • Pemahaman siswa diupayakan komprehensif
  • Kemampuan guru terbatas (utk SMP/SMA)

  1. C. Learner Centered  Design (Berpusat pada  Peranan  Siswa)

Penyusunan pengembangan kurikulum berdasarkan pada peserta didik dan bukan berdasarkan isi, kurikulum tidak diorganissikan sebelumnya tetapi dikembangkan bersama guru dengan siwa                     dalam penyelesaian tugas guru-guru dan siswa, minat, kebutuhan, dan tujuan.

Kelebihan Learner Centered Design (berpusat pada peranan siswa) diantaranya :

  • Motivasi instrinsik pada siswa
  • Pembelajaran memperhatikan perbedaan individu
  • Kegiatan pemecahan masalah memberikan kemampuan dlm menghadapi kehidupan di luar sekolah

Kekurangan Learner Centered Design (berpusat pada peranan siswa) diantaranya

  • Kenyataan, siswa belum tentu tahu persis kebutuhan dan minatnya
  • Kurikulum tidak mempunyai pola dalam penyusunan strukturnya.
  • Sangat lemah  dlm kontinuitas  dan se kuens bahan
  • Menuntut guru yg ahli dalam banyak hal
  1. D. Problems Centered  Design (Berpusat pada Masalah yang Dihadapi Masyarakat)

Problem desain centered berawal dari pada filsafat yang mengutamakan peranan manusia (man centered) yang menekankan pada kesatuan kelompok yaitu kesejahteraan masyarakat, menekankan pada isi, kurikulum mereka disusun sebelumnya, model kurikulum ini berasumsi bahwa manusia sebagai mahluk sosial.

Variasi model kurikulum ini, yaitu:

1. The  Areas Of  Living Design

Penekanan pada prosedur belajar melalui pemecahan masalah dan memiliki tujuan yang bersifat proses dan isi diintegrasikan. Menggunakan pengalaman dan situasi nyata dari siswa  sebagai pembuka jalan dalam mempelajari bidang kehidupan.

Kelebihan:

  • Integrasi dari beberapa subjek berdasarkan  problema sosial
  • Prosedur belajar pemecahan masalah
  • Penyajian bahan ajar yg relevan  dengan kebutuhan masyarakat

Kelemahan:

  • Penentuan lingkup/sekuens dari bidang kehidupan yg esensial, sulit dilakukan
  • Kurang/lemahnya kontinuitas/integritas organisasi  isi kurikulum
  • Mengabaikan warisan budaya

2. The Core Design

Dalam mengintegrasikan bahan ajar, mereka memilih mata pelajaran/bahan ajar tertentu mereka memilih suatu mata pelajaran sebagai inti (core), dan pelajaran lain dikembangkan disekitar inti/core tersebut. The core desagn diberikan oleh guru yg berpengetahuan dan berwawasan luas, bukan spesialis disamping bimbingan guru terhadap perkembangan sosial  pribadi  siswa.

Beberapa bentuk variasi the core desagn kurikulum, yaitu:

  • The separated subject core

Salah satu usaha untuk mengatasi keterpisahan antar mata pelajaran, beberapa mata pelajaran yang dipandang mendasari atau yang menjadi inti pelajaran lainnyadjadikan core.

  • The correlated  core

Berpangkal dari The separated subject core pengintegrasiannya bukan bukan hanya dua atau tiga pelajaran, dengan jalan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang erat hubungannya.

  • The fused core

Berpangkal dari  separated subject, pengintegrasiannya bukan bukan hanya dua atau tiga pelajaran. Dalam studi inidikembangkan tema-tema masalah umum yang yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang.

  • The activity/sekuens core

Berkembang dari learner centered desaignya berpusat pada minat dan kebutuhan peserta didik.

  • The areas living core

Bentuk desain ini dipandang sebagai core desain yang paling murni dan cocok untuk program pendidikan umum.

  • The sosial problems core

Bersifat terbuka untuk penyempurnaan pada setiap sat, agar tetap mutakir dan relevandengan perkembangan masyarakat.

  1. E. Penutup

Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses siklus yang tidak pernah ada titik awal dan akhirnya. sebab, pengembangan kurikulum ini merupakan suatu proses yang bertumpu pada unsure-unsur dalam kurikulum, yang didalamnya meliputi tujuan, metode, material, penilaian dan balikan (feed back).

Desain kurikulum yang dijabarkan dalam makalah ini adalah:

  • Subject Centered Curriculum (Berpusat pada Bahan Ajar)
  • Learner Centered  Design (Berpusat pada  Peranan  Siswa)
  • Problems Centered  Design (Berpusat pada Masalah yang Dihadapi Masyarakat)

===== 000 =====

REFERENSI

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

JENIS-JENIS KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

  1. A. Pendahuluan

Kurikulum formal ialah rancangan di mana aktiviti pembelajaran dijalankan supaya matlamat atau objektif pendidikan dan sekolah tercapai. Ia merupakan satu set dokumen untuk dilaksanakan. Ia mengandungi hal sebenar yang berlaku dibilik darjah dan apa yang telah disediakan dan dinilai. Setiap sekolah ada kurikulum terancang iaitu satu set objektif yang berstruktur dengan kandungan dan pengalaman belajar serta hasil yang dijangkakan. Ia merupakan rancangan eksplisit dan operasional yang dihasratkan, lazimnya dikelolakan mengikut mata pelajaran dan gred, di mana peranan guru didefinisikan dengan jelas (Ornstein, A.C. & Hunkins, F, 1983).

Kurikulum tersembunyi adalah sesuatu yang tidak terancang dan tidak formal. Ia mungkin disebut sebagai kurikulum ”tak rasmi” atau ”terlindung” atau ”tak formal”. Kurikulum ini dikelolakan di luar konteks pengajaran rasmi. Ia merupakan perlakuan dan sikap yang dibawa kedalam bilik darjah dan sekolah tanpa disedari dan disebut kerana tidak dinyatakan secara eksplisit. Ia terdiri dari peraturan tidak bertulis, konvokesyen, adat resam dan nilai budaya. Ia dibentuk oleh faktor-faktor seperti status sosioekonomi dan latar belakang pengalaman guru dan murid.

Jadi apakah peranan anda sebagai guru dalam kurikulum tersembunyi? Anda harus berupaya untuk mengenalpasti aspek-aspek kurikulum tersembunyi, terutamanya kemungkinan ketidakfungsiaan potensi atau pengalaman pembelajaran negatif dan di mana-mana kemungkinanan untuk mengawal dan memperbaiki situasi.

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apa saja jenis-jenis kurikulum? Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis kurikulum.

  1. B. Jenis-Jenis Kurikulum.

Jika dilihat dari sudut guru sebagai pengembang kurikulum dikenal jenis-jenis kurikulum sebagai berikut:

  • Open curriculum (kurikulum terbuka), artinya kurikulum = guru. Guru memiliki kebebasan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.
  • Close curriculum (kurikulum tertutup), artinya kurikulum sudah ditentukan secara pasti mulai tujuan,materi, metode dan evaluasinya, sehingga guru tinggal melaksanakan apa adanya.
  • Guide curriculum (kurikulum terbimbing), artinya kurikulum setengah terbuka, setengah tertutup. Rambu-rambu pengajar telah ditentukan dalam kurikulum, akan tetapi guru masih diberi kemungkinan untuk mengembangkan lebih lanjut dalam kelas.

Sedangkan  Nasution mengatakan bahwa jenis-jenis kurikulum ada 3 (tiga),  yaitu:

  1. 1. Separate subject curriculum

Artinya segala bahan pelajaran yang disajikan  dalam subject/mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang satu lepas dari yang lain.

Subject atau mata pelajaran ialah hasil penglaman umat manusia sepanjang masa, atau kebudayaan dan pengetahuan yang dikumpulkan oleh manusia sejak dahulu, lalu  disusun secara logis dan sistematis, disederhanakan dan disajikan kepada anak didik sesuai dengan usianya masing-masing.

Keuntungan-keuntungan

  • Bahan pelajaran dapat disajikan secara logis dan sistematis
  • Sederhana, mudah direncanakan dan dilaksanakan
  • Mudah dinilai
  • Dipakai di Perguruan Tinggi
  • Sudah menjadi tradisi
  • Memudahkan guru
  • Mudah diubah

Kekurangan-kekurangan

  • Memberikan mata pelajaran yang lepas-lepas
  • Tidak memperhatikan masalah-masalah sosial yang dihadapi anak-anak sehari-hari
  • Menyampaikan pengalaman umat manusia yang lampaui
  • Tujuannya terlampau terbatas
  • Kurang mengembangkan kemampuan berfikir
  • Statis dan ketinggalan zaman

  1. 2. Corelated curriculum

Artinya masing-masing tiap mata pelajaran itu mempunyai hubungan.

Korelasi ada 3 macam

  • Korelasi secara insidental
  • Hubungan yang lebih erat, satu pokok bahasan dilihat dari berbagai sudut mata pelajaran
  • Mata-mata pelajaran yang difusikan/disatukan, dengan menghilang-kan batas-masing-masing. Misalnya IPS, IPA, Matematika, Kesenian (Broad field curriculum)

Keuntungan-keuntungan

  • Murid-murid mendapat informasi yang utuh/terintegrasi
  • Minat murid bertambah
  • Pengertian murid-murid tentang sesuatu lebih mendalam dan luas
  • Memungkinkan murid-murid menggunakan pengetahuannya lebih fungsional

Kekurangan-kekurangan

  • Tidak menghubungkan dengan masalah yang aktual
  • Guru sering tidak menguasai pendekatan interdisipliner

  1. 3. Integrated kurikulum

Dalam integrated curiculum meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan sehingga diharapkan akan membentuk anak-anak menjadi  pribadi yang terintegrated.

Keuntungan-keuntungan

  • Merupakan suatu keseluruhan yang bulat
  • Menerobos batas-batas mata pelajaran
  • Didasarkan atas kebutuhan dan minat  anak
  • Life centered
  • Perlu waktu panjang
  • Anak-anak dihadapkan pada situasi-situasi yang mengandung problema
  • Dengan sengaja memajukan perkembangan sosial pada anak-anak
  • Direncanakan bersama oleh guru dan murid

Kelemahan-kelemahan

  • Guru-guru tidak disiapkan untuk menjalankan kurikulum seperti ini
  • Dianggap tidak mempunyai sistem organisasi yang logis – sistematis
  • Memberatkan tugas guru
  • Tidak memungkinkan ujian umum
  • Alat-alat  sangat kurang

  1. C. Teori Kurikulum

Teori kurikulum memang tidak terlalu populer, seolah hanya penting bagi para ahli saja. Sementara bagi praktisi, teori kurikulum dianggap tidak penting karena mereka hanya pelaksana saja. Sebenarnya anggapan tersebut keliru. Karena teori kurikulum itu memberikan perangkat konseptual untuk menilai rencana kurikulum, mengevaluasi dan mereformasi kurikulum. Bahkan, seorang pendidik yang baik itu harus selalu menyadari bahwa kurikulum itu harus terus diubah dan diperbaiki, meskipun tampaknya sudah memenuhi kebutuhan saat ini.

  1. Kurikulum yg menekankan pada isi:
  2. Kurikulum yang menekankan pada situasi pendidikan
  3. Kurikulum yang menekankan pada organisasi
  • Bersifat material centered
  • Memandang siswa sebagai penerima pasif
  • Mempunyai tujuan yang dapat diukur pencapaiannya
  • Menggunakan engineering approach
  • Bersifat massal
  • Bersifat khusus, disesuaikan dengan lingkungan
  • Lebih mengutamakan fleksibelitas dalam interpretasi dan pelaksanaannya
  • Menggunakan gardening approach (mempersiapkan lahan)
  • Sulit dievaluasi
  • Penekanan pada proses pembelajaran
  • Mementingkan aktivitas siswa
  • Tidak ditekankan pada penguasaan pengetahuan
  • Sulit diukur

D. Hakikat dan Fungsi Teori Kurikulum

Ide tentang pendidikan dan sekolah tidak lepas dari gagasan dan teori kurikulum, meski tidak dirumuskan secara komprehensif. Dalam literatur pendidikan, ada banyak perspektif dalam memandang teori kurikulum ini. Perspektif-perspektif itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga pandangan, yaitu :

  • Positivis, memandang teori sebagai cara untuk menjelaskan fenomena yang bisa menghasilkan penilaian yang objektif.
  • Instrumentalis atau realis, memandang ilmu pengetahuan sebagai upaya empiris dan rasional yang digunakan untuk menjelaskan dan memprediksikan (memeprkirakan) sesuatu berdasarkan hokum hubungan-hubungan sebab akibat (kausalitas).
  • Kontemporer, lebih terbuka memandang teori, yakni dari kemampuannya menjelaskan suatu fenomena dan dari bermanfaatnya suatu teori untuk diimplementasikan.

Dari perbedaan-perbedaan perspektif tersebut, teori kurikulum dapat dirumuskan sebagai seperangkat konsep-konsep yang berkaitan dengan pendidikan yang memberikan perspektif yang sistematis dari fenomena-fenomena kurikular.

Apa fungsi teori kurikulum? Dari perbedaan-perbedan perseptif sebagaimana dijelaskan, fungsi teori yang utama adalah untuk menggambarkan (to describe), menjelaskan (to explain), dan memperkirakan (to predict). Namun, pemikir-pemikir kontemporer menambah beberapa fungsi teori, yakni seperti Michel Apple, yang menambahkan fungsi kebermanfaatan bagi masyarakat. Fungsi dari teori biasanya dikaitkan dengan kemapanan dan kedewasaan suatu teori itu. Faix (1964) mengklasifikasikan perkembangan-perkembangan teori seperti disarikan dalam tabel di bawah ini.

Tahap Satu Teori dasar

(basic theory)

Teori ini masih mengandalkan hipotesis-hipotesis dengan menggunakan beberpa varibel dan konsep. Teori ini belum dikorelasikan dengan data-data empiris di lapangan.
Tahap Dua Teori Menengah

(middle range theory)

Teori ini sudah memuat berbagai hipotesis yang telah diuji secara empiris. Hubungan-hubungan antar variabel juga sudah dibuat berdasarkan hokum-hukum kausalitas.
Tahap Tiga Teori Umum

(general theory)

Teori ini merupakan sistem teoretis yang luas yang memberikan skema-skema untuk menjelaskan suatu penelitian atau kajian.

E. Penutup

Kurikulum formal ialah rancangan di mana aktiviti pembelajaran dijalankan supaya matlamat atau objektif pendidikan dan sekolah tercapai. Ia merupakan satu set dokumen untuk dilaksanakan. Ia mengandungi hal sebenar yang berlaku dibilik darjah dan apa yang telah disediakan dan dinilai. Setiap sekolah ada kurikulum terancang iaitu satu set objektif yang berstruktur dengan kandungan dan pengalaman belajar serta hasil yang dijangkakan. Ia merupakan rancangan eksplisit dan operasional yang dihasratkan, lazimnya dikelolakan mengikut mata pelajaran dan gred, di mana peranan guru didefinisikan dengan jelas.

Kurikulum tersembunyi adalah sesuatu yang tidak terancang dan tidak formal. Ia mungkin disebut sebagai kurikulum ”tak rasmi” atau ”terlindung” atau ”tak formal”. Kurikulum ini dikelolakan di luar konteks pengajaran rasmi. Ia merupakan perlakuan dan sikap yang dibawa kedalam bilik darjah dan sekolah tanpa disedari dan disebut kerana tidak dinyatakan secara eksplisit. Ia terdiri dari peraturan tidak bertulis, konvokesyen, adat resam dan nilai budaya. Ia dibentuk oleh faktor-faktor seperti status sosioekonomi dan latar belakang pengalaman guru dan murid.

Jenis-jenis kurikulum menurut Nasution, adalah:

  • Separate-subject curriculum
  • Correlated Curriculum
  • Intergrated Curriculum

===== 000 =====

REFERENSI

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

PERUBAHAN KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

  1. A. Pendahuluan

Bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita dapat bertanya dalam arti apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses belajar-mengajar. Kurikulum dapat juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dan sebagai proses untuk mencapainya. Keduanya saling berkaitan.

Kurikulum dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu direvisi secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi dengan murid dalam kelas. Kurikulum dalam   arti ini tak mungkin direncanakan sepenuhnya betapapun rincinya direncanakan, karena dalam interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar kesempatannya menjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya.

Akhirnya kurikulum dapat dipandang sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang tertinggi dalam kelakuan anak-didiknya. Kurikulum ini sangat erat hubungannya dengan kepribadian guru. Kurikulum yang formal, mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas daripada kurikulum yang riil.

Kurikulum yang riil, bukan sekadar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olah raga, warung sekolah, tempat bermain, karyawisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum di sini berarti mengubah semua yang terlibat di dalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah, juga orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Dalam hal ini dikatakan bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, curriculum change is social change.

Perubahan tak selalu sama dengan perbaikan, akan tetapi perbaikan selalu mengandung perubahan. Perbaikan berarti meningkatkan nilai atau mutu. Perubahan adalah pergeseran posisi, kedudukan atau keadaan yang mungkin membawa perbaikan, akan tetapi dapat juga memperburuk keadaan. Anak yang mula-mula tak mengenai ganja, dapat berubah menjadi anak yang mengenalnya lalu terlibat dalam kejahatan. Perubahan di sini tidak membawa perbaikan. Namun demikian sering diadakan perubahan dengan maksud terjadinya perbaikan. Perbaikan selalu dikaitkan dengan penilaian.

Perbaikan diadakan untuk meningkatkan nilai, dan untuk mengetahuinya digunakan kriteria tertentu. Perbedaan kriteria akan memberi perbedaan pendapat tentang baik-buruknya perubahan itu. Perubahan, sekalipun memberi perbaikan dalam segala hal bagi semua orang. Dalam bidang kurikulum kita lihat betapa banyaknya ide dan usaha perbaikan kurikulum yang dicetuskan oleh berbagai tokoh pendidikan yang terkenal. Macam-macam kurikulum telah diciptakan dan banyak di antaranya telah dijalankan. Apa yang mula-mula diharapkan, akhirnya ternyata menimbulkan masalah lain, sehingga kurikulum itu ditinggalkan atau diubah. Ada masanya pelajaran akademis yang diutamakan, kemudian tampil anak sebagai pusat kurikulum, sesudah itu yang dipentingkan ialah masyarakat, akan tetapi timbul pula perhatian baru terhadap pengetahuan akademis. Namun demikian, dalam sejarah pendidikan, tak pernah sesuatu kembali dalam bentuk aslinya. Biasanya yang lama itu timbul dalam bentuk yang agak lain, pada taraf yang lebih tinggi. Misalnya, bila dalam pelajaran akademis diutamakan hafalan fakta dan informasi, kemudian diutamakan prinsip-prinsip utama. Bila pada ketika kurikulum sepenuhnya dipusatkan pada anak, kemudian disadari bahwa tak dapat anak hidup di luar masyarakat. Disadari bahwa dalam kurikulum tak dapat diutamakan hanya satu aspek saja, akan tetapi semua aspek : anak, masyarakat, maupun pengetahuan secara berimbang.

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apakah penyebab terjadinya perubahan kurikulum? Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya perubahan kurikulum.

B. Bagaimana Terjadinya Perubahan

Menurut para ahli sosiologi. perubahan terjadi dalam tiga fase, yakni fase inisiasi, yaitu taraf permulaan ide perubahan itu dilancarkan, dengan menjelaskan sifatnya, tujuan, dan luas perubahan yang ingin dicapai; fase legitimasi, saatnya orang menerima ide itu dan fase kongruensi, saat orang mengadopsinya, menyamakan pendapat sehingga selaras dengan pikiran para pencetus, sehingga tidak terdapat perbedaan nilai lagi antara penerima dan pencetus perubahan.

Untuk mencapai kesamaan pendapat, berbagai cara yang dapat digunakan, misalnya motivasi intrinsik dengan janji kenaikan gaji atau pangkat. memperoleh kredit, dapat juga, paksaan keras atau halus, dengan menggunakan otoritas atau indoktrinasi. Dapat juga dengan membangkitkan motivasi intrinsik dengan menjalankan sikap ramah, akrab, penuh kesabaran dan pengertian, mengajak turut berpatisipasi, mengemukakan perubahan sebagai masalah yang dipecahkan bersama. Perubahan akan lebih berhasil, bila dari pihak guru dirasakan kekurangan dalam keadaan, sehingga timbul hasrat untuk memperbaikinya demi kepentingan bersama. Perubahan yang terjadi atas paksaan dari pihak atasan, biasanya tidak dapat bertahan lama, segera luntur dan hanya diikuti secara formal dan lahiriah. Menjadikan perubahan sebagai masalah, melibatkan semua yang terlibat dalam perumusan masalah. pengumpulan data, menguji alternatif, dan selanjutnya mengambil kesimpulan berdasarkan percobaan, dianggap akan lebih mantap dan meresap dalam hati guru. Akan tetapi karena prosedur ini makan waktu dan tenaga yang banyak, dan selain itu diinginkan perubahan yang uniform di semua sekolah, maka sering dijalankan cara otoriter, indoktrinatif, tanpa mengakui kemampuan guru untuk berpikir sendiri dan hanya diharuskan menerima saja. Cara ini efisien, namun dalam jangka panjang tidak efektif. Dan bila ada perubahan atau perbaikan baru, yang lama ditinggalkan saja tanpa membekas.

C. Perubahan SDM (Pendidik)

Perubahan kurikulum tak akan dapat dilaksanakan tanpa perubahan pada guru sendiri. Seperti manusia lainnya, guru juga sering tidak mudah berubah, karena telah biasa dengan cara-cara yang lama. Setiap perubahan akan dapat mengganggu ketente- ramannya. Guru cenderung bersifat konservatif, sebab tugasnya terutama untuk melestarikan kebudayaan dengan menyampaikannya kepada generasi muda.

Namun apabila ia merasa ketidakpuasan dengan keadaan, maka ia mencari cara baru untuk mengatasi kekurangan yang dirasakannya pada dirinya dan dalam situasi pendidikan. Pada saat itu ia terbuka bagi perubahan. Bila ia memperoleh informasi melalui ceramah atau bacaan, maka ia dapat memperoleh pandangan baru tentang pendidikan. la melihat situasi dengan mata lain. Timbul padanya kebutuhan dan motivasi untuk menerima perubahan yang dapat memberi perbaikan. Seorang yang ingin melancarkan perubahan, harus berusaha menimbulkan kebutuhan itu pada guru-guru. Selain itu ia jangan bertindak sebagai orang yang serba tahu yang akan mengubah kelakuan guru. Hendaknya ia sebanyak mungkin melibatkan guru dalam proses perubahan itu. la dapat bersama guru merumuskan masalah yang dihadapi yang akan dipecahkan bersama, mencari hipotesis atau alternatif, mengumpulkan data, mengambil keputusan, menguji-cobakannya dan mengevaluasinya. Perubahan hendaknya disertai pengalaman yang kongkret. Dalam proses itu hendaknya selalu diusahakan komunikasi terbuka, sehingga guru-guru bebas mengemukakan pendapatnya. Walaupun petugas itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, hendaknya ia hati-hati menggunakan kekuasaan dan kewibawaannya.

la juga menentukan bagaimana memandang guru, apakah sebagai orang yang kurang terdidik yang memerlukan latihan, atau makhluk psikologis yang dapat dibujuk, atau sebagai makhluk ekonomis yang harus diberi insentif, uang, atau sebagai pegawai yang dapat dipaksa agar patuh, ataukah sebagai seorang professional yang bertanggung jawab atas mutu profesinya, atau sebagai makhluk rasional yang dapat diajak berpikir dalam memecahkan masalah bersama. Sikap petugas pembaharu banyak berpengaruh atas kemantapan perubahan yang diinginkan.

Guru adalah tokoh utama dalam kelasnya. la akan menentang perubahan yang akan mengurangi kedudukannya. Metode yang meniadakan peranan guru dan terutama didasarkan atas bahan yang telah tersusun, tidak akan diterima guru dengan senang hati. Juga perubahan yang meminta pengorbanan tenaga, waktu, dan pikiran akan menemui pertentangan. la hendaknya diakui sebagai manusia.

Orang yang berperan sebagai pengubah kurikulum harus dapat bekerja-sama, harus dapat mempengaruhi orang dan memberi inspirasi. la harus mempunyai sensitivitas sosial, terbuka bagi pikiran orang lain dan terbuka bagi perubahan. Akan tetapi ia harus seorang profesional, namun rendah hati dan tidak memamerkan        pengetahuannya.

D. Mengubah Lembaga atau Organisasi

Mengubah lembaga atau organisasi menghadapi kesulitan lain. Tiap organisasi mempunyai struktur sosial tertentu. Tiap orang mempunyai status tertentu dan menjalanakan peranan tert entu yang memberinya harga diri atau kekuasaan. Mengadakan dalam struktur itu dapat mengancam kedudukan seseorang. Sering pula organisasi itu mempunyai hierarki yang ketat, mengikuti prosedur yang tetap. Untuk mengadakan perubahan, harus diketahui dan dipertimbangkan keadaan yang ada.

Menurut para ahli dalam “social engineering” dalam usaha mengadakan perubahan dapat dilalui empat langkah, yakni 1, menganalisis situasi, 2. menentukan perubahan yang perlu diadakan, 3. mengadakan perubahan itu, dan 4. memantapkan perubahan itu.

Sikap orang terhadap perubahan berbeda-beda. Ada yang bersedia menerimanya, ada yang menentangnya terang-terangan atau diam-diam, ada pula yang acuh-tak-acuh. Ada yang ikut-ikutan tanpa komitmen, ada yang ikut sekadar mengamankan diri karena takut bila ia mendapat tindakan. Hendaknya dicegah timbulnya popularisasi, yaitu dua pihak yang bertentangan. Perubahan hanya dapat berhasil bila semua bekerja-sama. Diusahakan mengenai daya-daya yang membantu dan menghalangi perubahan itu dan diadakan usaha untuk memperkuat daya-daya yang menyokong sambil melemahkan, melumpuhkan bahkan meniadakan daya-daya yang menghambat. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan dan kepekaan sosial.

Semua harus menyadari adanya masalah yang dihadapi serta kemungkinan untuk mengadakan perubahan. Diusahakan agar semua menaruh minat terhadap usaha itu. Diberi waktu untuk membicarakan dan memikirkan makna perubahan itu bagi lembaga atau organisasi dan dengan percobaan itu bagi lembaga atau organisasi dan dengan percobaan mempraktikkannya memperlihatkan manfaat perubahan itu. Bila timbul keyakinan akan kebaikan perubahan itu, maka besar harapan akan diterima dan digunakan untuk masa selanjutnya.

E. Kelambanan Perubahan Dalam Pendidikan

Dibandingkan dengan bidang pertanian, perubahan dalam pendidikan berjalan dengan lamban sekali. Praktik-praktik yang telah dijalankan ratusan tahun yang lalu masih berlaku, sedangkan cara-cara yang baru sangat sukar diterima dan membudaya. Dapat disebut beberapa sebab kelambanan itu.

Pertama, pendidikan, termasuk kurikulum belum cukup mempunyai dasar ilmiah. Belum dapat diramalkan dengan pasti apa yang akan terjadi bila dijalankan metode tertentu. Terlampau banyak variabel yang mempengaruhi hasil suatu tindakan pendidikan. Setiap metode demikian pula tiap kurikulum, betapapun banyak kebaikannya mempunyai sejumlah kelemahan.

Kedua, pendidikan, termasuk kurikulum, tidak mempunyai petugas tertentu, yang bersedi memberi bantuan kapan saja diperlukan, seperti halnya dalam bidang pertanian yang menyediakan petugas lapangan. Juga Kanwil tidak menyediakan petugas yang bersedia dipanggil kapan saja guru atau sekolah memerlukan bantuannya guna mengatasi kesulitan yang dihadapi berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum.

Ketiga, guru atau siapa saja yang mengadakan perbaikan, tidak mendapat insentif dan hanya menerima penghargaan financial berupa gaji seperti guru lain yang hanya mengikuti tradisi.

Keempat, kebanyakan guru mempertahankan cara-cara lama yang telah teruji dan telah dikenalnya dengan baik dan dijalankan secara rutin.

Kelima, kurikulum yang uniform menghambat ruang gerak guru untuk mengadakan perubahan dan menimbulkan kesan, seakan-akan tiap penyimpangan dari apa yang telah ditentukan dalam pedoman kurikulum akan dianggap sebagai pelanggaran.

Akan tetapi seperti telah dikemukakan di atas, betapapun rincinya kurikulum ditentukan oleh pusat, selalu cukup banyak kesempatan bagi guru untuk berperan sebagai pengembang kurikulum. Tentu saja diharapkan agar guru-guru lebih banyak diberi peluang untuk mencari cara-cara baru atau lebih menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan murid dan lingkungan. Pengawasan yang terlampau ketat dari atasan akan menghambat berkembangnya inisiatif dan kreativitas guru dan merendahkannya menjadi sekadar tukang yang banyak bekerja secara otomatis dan rutin, padahal mengajar itu selalu merupakan “adventure” penuh rahasia yang menarik untuk dipikirkan.

F. Tingkat Perubahan

Perubahan kurikulum dapat kecil dan sangat terbatas, dapat pula luas dan mendasar. Perubahan itu dapat berupa : 1. substitusi, 2. alterasi, 3. variasi, 4. restrukturisasi, dan 5. orientasi baru.

Substitusi dapat berupa mengganti buku pelajaran, misalnya IPS dengan buku karangan orang lain yang dianggap lebih baik. Jadi di sini perubahan itu sangat kecil hanya mengganti atau menukar buku pelajaran.

Alterasi juga berarti perubahan, dalam hal ini misalnya menambah atau mengurangi jam pelajaran untuk bidang studi tertentu, yang dapat mempengaruhi jam pelajaran bidang studi lain. Perubahan ini lebih sulit diadakan disbanding dengan substitusi, karena perlu diyakini apa sebab perlu jam pelajaran ditambah, sedangkan di pihak lain dikurangi waktunya.

Dengan variasi dimaksud menerima metode yang berhasil disekolah lain untuk dijalankan di sekolah sendiri, dengan meniadakan yang lama. Perubahan serupa ini memerlukan perubahan pada guru yang harus mempelajari dan menguasai cara baru itu. Perubahan ini lebih sulit lagi dibandingkan dengan perubahan sebelumnya.

Lebih banyak risikonya ialah restrukturisasi, misalnya menjalankan team teaching, yang memberi peranan baru kepada guru dan memerlukan tenaga dan fasilitas baru.

Dan akhirnya, perubahan yang paling besar risikonya ialah bila dituntut orientasi nilai-nilai baru, misalnya peralih.an dari kurikulum yang”subject-centered” menjadi “unit approach”, atau kurikulum yang berpusat pada pengetahuan akademis menjadi kurikulum yang berpusat pada anak atau macam-macam pendekatan lain dalam kurikulum.

G. Proses Perubahan Kurikulum

Di bawah ini diberi sejumlah saran-saran singkat tentang langkah-langkah dalam proses mengubah kurikulum :

  • Pupuklah suasana dan kondisi kerja yang serasi. Suasana kerja harus memberi kesempatan bagi peserta untuk mengeluarkan buah pikirannya secara bebas. Saran-saran mereka harus diperhatikan. Mereka harus diikutsertakan dalam merumuskan dan memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Keberhasilan perubahan bergantung pada kualitas dan kuantitas para peserta. Ada kalanya diperlukan bantuan dari orang lain, misalnya dari Kanwil atau Perguruan Tinggi Perlu disediakan sumber dan bahan yang diperlukan. Hendaknya dijauhi hal-hal yang dapat mengganggu.
  • Berikan waktu yang cukup, jangan terlampau cepat, jangan pula terlampau lambat. Mendesak agar cepat bekerja akan cepat menghasilkan pekerjaan yang tergesa-gesa dan tidak cermat. Pelaksanaan perubahan memerlukan waktu. Adakalanya untuk suatu program, misalnya perbaikan pengajaran bahasa, diperlukan waktu 3-4 tahun.
  • Tentukan kegiatan yang sesuai, misalnya ada yang lebih serasi bila dilakukan oleh panitia, kelompok studi, workshop, konperensi, seminar, dapat pula mengadakan wawancara, observasi, demonstrasi, atau menggunakan alat-alat, seperti tape-recorder, TV, dan lain-lain.
  • Tentukan prosedur penilaian dalam tiap usaha perubahan. Evaluasi dimaksud untuk memperoleh gambaran tentang taraf tercapainya tujuan. Setelah dirumuskan tujuan perubahan, harus segera ditentukan cara menilai hingga mana tercapainya tujuan itu. Baru kemudian ditentukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan itu.

H. Proses Perbaikan Kurikulum

Seperti telah dikemukakan, kurikulum bermacam-macam tafsirannya. Pada satu pihak, kurikulum dipandang sebagai buku pedoman dan wewenang untuk mengembangkannya ialah pusat, kementerian Depdikbud. Yang dihasilkan ialah suatu kurikulum nasional yang menentukan garis-garis besar apa yang harus diajarkan kepada murid-murid. Di pihak lain, kurikulum dapat ditafsirkan sebagai segala sesuatu yang terjadi dalam kelas dan sekolah yang mempengaruhi perubahan kelakuan para siswa dengan berpedoman pada kurikulum yang ditentukan oleh Pemerintah. Dalam arti terakhir ini, perbaikan kurikulum terutama tergantung pada guru. Dialah menentukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam kelasnya. Dalam posisi itu boleh dikatakan ialah pengembang kurikulum, dan ada tidaknya perbaikan pengajaran dalam kelasnya bergantung pada ada tidaknya usaha guru.

Tak semua guru sadar akan peranannya sebagai pengembang kurikulum, karena ia memandang dirinya sekadar sebagai pelaksana kurikulum, yang berusaha jangan menyimpang sedikitpun dari ketentuan dari atasan. Apa yang ditentukan oleh atasan sebenarnya masih jauh dari lengkap. Yang diberikan terutama garis-garis besarnya, dan kalaupun dirincikan, mustahil meliputi kegiatan guru-siswa sampai hal yang sekecil-kecilnya. Kurikulum sekolah kita, menentukan hanya sampai tujuan instruksional umum, TIU. Yang merumuskan TIK-nya ialah guru. Bahan pelajaran juga hanya pokok-pokoknya, masih banyak yang harus dilengkapi guru. Demikian pula, metode yang dianjurkan sangat terbatas dan tidak spesifik. Banyak lagi kesempatan bagi guru untuk secara kreatif memilih dari sejumlah besar metode, strategi, atau model mengajar yang tersedia. Penilaian formatif dan sumatif untuk pelajaran yang diajarkan guru, sepenuhnya dalam tangan guru. la tidak terikat pada test tertulis, akan tetapi dapat menjalankan penilaian yang lebih komprehensif yang meliputi aspek emosional, moral, sosial, sikap dan aspek afektif lainnya. la dapat menilai kemampuan kognitifpada tingkat mental yang jauh lebih tinggi daripada yang dapat diukur dengan Ebtanas. Dialah yang dapat menilai aspek-aspek kepribadian anak. Ialah yang berada dalam posisi strategis untuk mengenai perkembangan anak, fisik, mental, etis, estetis, sosilal, dan lain-lain.

Antara kurikulum nasional yang dijadikan pedoman sampai perubahan kelakuan anak, masih terdapat jarak yang cukup luas, yang memerlukan pemikiran, kreativitas, dan kegiatan guru. Dalam hal inilah ia harus sadar akan fungsinya sebagai pengembang kurikulum. Fungsi ini tentu harus lebih disadari kepala sekolah yang bertanggung-jawab atas pendidikan di seluruh sekolahnya dan seyogianyaberusaha sedapat mungkin mengadakan perbaikan kurikulum sekolahnya Tiap sekolah berbeda dengan sekolah lain, walaupun berada di kota yang sama,apalagi sekolah di daerah lain yang berbeda sifat geografi dan sosial-ekonominya. Dan tiap guru berbeda pribadinya dengan guru lain. Juga muridnya menunjukkan ciri-ciri khas yang mungkin bertukar dari tahun ke tahun.

Pada umumnya guru kita masih belum menyadari peranannya sebagai pengembang kurikulum. Kurikulum kita uniform di samping usaha untuk sedapat mungkin mengatur apa yang harus dilakukan oleh guru sampai yang sekecil-kecilnya. Meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan. Pertama, menyusun paket pelajaran sedemikian rupa, sehingga guru hanya berperan untuk mengatur distribusi bahan itu menurut kecepatan anak. Pelajaran itu dapat berupa modul atau pelajaran berprograma. Pendekatan kedua ialah meningkatkan mutu guru sehingga mampu menjalankan bahkan memperbaikinya bila ada kelemahannya. Pendekatan pertama sangat mahal selain banyak kekurangannya. Pendekatan kedua memerlukan guru yang profesional, berkompetensi tinggi, guru yang berjiwa dinamis dan terbuka bagi pembaruan. Pendekatan ini pun tak mudah dijalankan karena menuntut kualitas guru yang tinggi yang masih belum terpenuhi pada saat ini.

Kurikulum yang uniform dapat menjadi alasan bagi guru untuk menjauhi inisiatif perbaikan dan hanya menunggu instruksi dari pihak atasan. Sebaliknya atasan yang tidak merangsang guru untuk bersifat dinamis dan memberi kesempatan serta dorongan untuk mencobakan perbaikan atas pemikiran sendiri dan tidak turut serta dalam usaha perbaikan dan penyesuaian dengan keadaan setempat, cenderung mematikan kreativitas guru.

Kurikulum tak kunjung sempurna dan senantiasa dapat diperbaiki. Bahan segera usang karena kemajuan zaman, pelajaran harus memperhatikan perbedaan individu dan mencari relevansi dengan kebutuhan setempat, dan sebagainya. Bila kita ingin memperbaiki kurikulum sekolah, kita harus memperhatikan sejumlah dasar-dasar pertimbangan, agar usaha itu berhasil baik, antara lain :

  • Mengetahui tujuan perbaikan
  • Mengenal situasi sekolah
  • Mengetahui kebutuhan siswa dan guru
  • Mengenal masalah yang dihadapi sekolah
  • Mengenal kompetensi guru
  • Mengetahui gejala sosial
  • Mengetahui perkembangan dan aliran dalam kurikulum.
  • Mengetahui Tujuan Perbaikan.

Langkah pertama ialah mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya ingin dicapai, bagaimana cara mencapainya, bagaimana melaksanakannya, apakah perlu dicari proses belajar-mengajar baru, sumber belajar apa yang diperlukan, bagaimana mengorganisasi bahan itu, bagaimana menilainya, bagaimana memanfaatkan balikannya. Ada kemungkinan, tujuannya harus diperjelas atau diubah, demikian pula desain perbaikan atau implementasinya dan metode penilaiannya. Jadi perbaikan kurikulum tak kunjung berakhir dan bergerak terus. Kurikulum bukan benda mati akan tetapi sesuatu yang hidup mengikuti perkembangan zaman.

I. Proses Perubahan Kurikulum di Indonesia

Dalam perjalanannya dunia Pendidikan Indonesia telah menerapkan enam kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 atau  Kurikulum Berbasis Kompetensi (meski belum sempat disahkan pemerintah, tetapi sempat berlaku di beberapa sekolah piloting project), dan terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan pemerintah melalui Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Nomor 23 tentang Standar Komnpetensi Lulusan, dan Permen Nomor 24 tentang Pelaksanaan kedua Permen tersebut. Ada rumor yang berkembang dalam masyarakat bahwa ada kesan “Ganti Menteri Pendidikan Ganti Kurikulum.” Kesan itu bisa benar bisa tidak, tergantung dari sudut mana kita memandang. Kalau sudut pandangnya politis, maka pergantian sistem pendidikan nasional, termasuk di dalamnya perubahan kurikulum akan selalu dikaitkan dengan kekuasaan (siapa yang berkuasa).

Namun, kalau sudut pandangnya nonpolitis, pergantian kurikulum merupakan suatu hal yang biasa dan suatu keniscayaan dalam rangka merespons perkembangan masyarakat yang beitu cepat. Pendidikan harus mampu menyesuaikan dinamika yang berkembang dalam masyarakat, terutama tuntutan dan kebutuh masyarakat. Dan itu bisa dijawab dengan perubahan kurikulum. Seorang guru yang nantinya akan melaksanakan kurikulum di kelas melalui proses belajar mengajar, dipandang perlu mengetahui dan memahami kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia. Dengan demikian, para guru dapat mengambil bagian yang terbaik dari kurikulum yang berlaku di Indonesia untuk diimplementasikan dalam menjalankan proses belajar mengajar.

1. Kurikulum 1968

Sebelum diterapkan kurikulum 1968, pada tahun 1947 pernah diterapkan Rencana Pelajaran yang pada waktu itu menteri pendidikannya dijabat Mr. Suwandi. Rencana Pelajaran 1947 memuat ketentuan sebagai berikut: (l) bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah; (2) jumlah mata pelajaran untuk Sekolah Rakyat (SR) 16 bidang studi, SMP 17 bidang studi, SMA jurusan B 19 bidang studi. Lahirnya Rencana Pelajaran 1947 diawali dari pembenahan sistem per sekolah pasca Indonesia merdeka yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, pembenahan ini baru bisa diterapkan pada tahun 1965 melalui keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.

Setelah berakhirnya kekuasaan orde lama, keluar Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/I966 yang berisi tujuan pendidikan membentuk manusia Pancasilais sejati. Dua tahun kemudian lahirlah Kurikulum 1968, sebuah pedoman praksis pendidikan yang terstruktur pertama kali (Cony Semiawan, 19B0). Tujuan pendidikan menurut Kurikulum 1968 adalah mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Ketentuan-ketentuan dalam kurikulum 1968 adalah: (1) bersifat: correlated subject currikulum; (2) jumlah mata pelajaran untuk SD 10 bidang studi, SMP 18 bidang studi (Bahasa Indonesia dibedakan bahasa Indonesia I dan II, SMA jurusan A 18 bidang studi, SMA jurusan B 20 bidang studi, jurusan SMA C 19 bidang studi; (3) penjurusan SMA dilakukan di kelas II. Pada waktu diberlakukan Kurikulum I968 yang mejabat menteri pendidikan adalah Mashuri. S.H.

2. Kurikulum 1975

Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat Letjen TNI Dr. Syarif Thajeb (1973-1978). Ketentuan-ketentuan Kurikulum 1975 adalah: (1) Sifat: integrated curriculum organization; (2) SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9 bidang studi; (3) pelajaran Ilmu Alam dan llmu Hayat menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA); (4) pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi Matematika; (5) jumlah mata pelajaran SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi; (6) penjurusan SMA dibagi tiga IPA, IPS dan Bahasa dimulai pada permulaan semester II kelas 1. Ketika belum semua sekolah mengimplementasikan Kurikulum 1975, mulai dirasakan kurikulum ini tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Maka kurikulum 1975 diganti oleh Kurikulum 1984.

3. Kurikulum 1984

Kurikulum ini diterapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto seorang ahli sejarah Indoesia. Ketentuan-ketentuan dalam Kurikulum 1984 adalah: (1) Sifat: Content Based Curnculum; (2) Program pelajaran mencakup 11 bidang studi; (3) Jumlah mata pelajaran SMP menjadi 12 bidang studi; (4) Jumlah mata pelajaran SMA 15 bidang studi untuk program inti, 4 bidang studi untuk program pilihan; (5) Penjuusan SMA dibagi lima: program A1 (Ilmu Fisika), A2 (Ilmu Biologi), A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya, dan A5 (Ilmu Agama); (6) Penjurusan dilakukan di kelas II. Pada Kurikulum 1984 penambahan bidang studi, yakni Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Hal ini bisa dimaklumi karena menteri pendidikan saat itu dijabat oleh seorang sejarawan. Dalam perjalanannya, Kurikulum 1984 dianggap oleh banyak kalangan dianggap sarat beban sehingga diganti dengan Kurikulum 1994 yang lebih sederhana.

4. Kurikulum 1994

Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof Dr. Ing Wardiman Djojonegoro seorang teknokrat yang menimba ilmu di Jerman Barat bersama BJ. Habibie. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum 1994 adalah: (l) bersifat: Objective Based Curriculum: (2) nama SMP diganti mejadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum); (3) mata pelajaran PSPB dihapus; (4) program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran; (5) Program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata pelajaran; (6) Penjurusan SMA dilakukan di kelas II yang dari program IPA, program IPS, dan program Bahasa. Ketika reformasi bergulir tahun 1998, Kurikulum 1994 mengalami penyesuaian-penyesuaian dalam rangka mengakomodasi tuntutan reformasi. Oleh karena itu, muncul suplemen Kurikulurn 1994 yang lahir tahun 1999. Dalam suplemen tersebut ada penyesuaian-penyesuaian materi pelajaran, terutama mata pelajaran seperti PPKN, Sejarah, dan beberapa mata pelajaran yang lainnya. Lagi-lagi kurikulum ini pun mengalami nasib yang sama dengan kurikulum sebelumnya. Bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, pemerinrah melalui Departemen pendidikan Nasional menggagas kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.

5. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kurikulum 2004)

Kurikulum Berbasis Kompetensi lahir di tengah-tengah adanya tuntutan  mutu pendidikan di Indonesia. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa mutu pendidikan Indonesia semakin hari semakin terpuruk. Bahkan dengan negara tetangga pun yang dulu belajar ke Indonesia, seperti Malaysia, Indonesia tertinggal dalam hal mutu pendidikan. Pendidikan di Indonesia dianggap hanya melahirkan lulusan yang akan menjadi beban negara dan masyarakat, karena kurang ditunjang dengan kompetensi yang memadau ketika terjun dalam masyarakat. Untuk merespons hal tersebut pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional menawarkan kurikulum yang dianggap mampu menjawab problematika seputar rendahnya mutu pendidikan dewasa ini. Karena dalam Kurikulum Berbasis Komperensi peserta didik diarahkan untuk menguasai sejumlah kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditentukan (Kunandar, 2005).

Kurikulum Berbasis Komperensi digagas ketika Menteri Pendidikan dijabat oleh Prof. Abdul Malik Fadjar, M.Sc. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah: (1) bersifat: Competency Based Curriculum: (2) penyebutan SLTP menjadi SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMU menjadi SMA 9Sekolah Menengah Atas); (3) program pengajaran SD disusun 7 mata pelajaran; (4) program pengajaran SMP disusun dalam 11 mata pelajaran; (5) program pengajaran SMA disusun dalam 17 mata pelajaran; (6) penjurusan SMA dilakukan di kelas II, terdiri atas Ilmu Alam, Sosial, dan Bahasa (Kompas, 16 Agustus 2005)

Kurikulum Berbasis Kompetensi meskipun sudah diujicobakan di beberapa sekolah melalur pilot project, tetapi ironisnya pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional belum mengesahkan kurikulum ini secara formal. Sepertinya pemerintah masih ragu-ragu dengan kurikulum ini. Hal ini dimaklumi, karena uji coba kurikulum ini menuai kritik dari berbagai kalangan, baik para ahli pendidikan maupun praktisi pendidikan. Beberapa kritik terhadap kurikulum ini adalah: (1) Masih sarat dengan materi sehingga ketakutan guru akan dikejar-kejar materi seperti yang terjadi pada kurikulum 1994 akan terulang kembali; (2) pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional masih terlalu intervensi terhadap kewenangan sekolah dan guru untuk mengembangkan kurikulum tersebut; (3) masih belum jelasnya (bias) pengertian kompetensi sehingga ketika diteraplkan pada standar, kompetensi kelulusan belum terlalu aplikatif; (4) adanya sistem penilaian yang belum begitu jelas dan terukur.

Melalui kebijakan pemerintah, kurikulum berbasis kompetensi mengalami revisi, dengan dikeluarkannya Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Diknas Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen Diknas Nomor 24 tentang Pelaksanaan kedua permen di atas. Ketiga permen tersebut dikeluarkan pada tahun 2006. Dengan dikeluarkannya ketiga permen tersebut seakan menjawab ketidakjelasan nasib KBK yung selama ini sudah diterapkan di beberapa sekolah, baik melalui pitot project atau swadaya dari sekolah tersebut. Keterandan dan keunggulan kurikulum ini pun masih perlu diuji di lapangan dan waktu yang nanti akan menjawabnya.

6. Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP)

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi atau ada yang menyebut Kurikulum 2004. KTSP lahir karena dianggap KBK masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam mengembangan kurikulum. OIeh karena itu, dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberikan kewenangan untuk mengembangan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen kurikulum lainnya.

J. Penutup

Kurikulum yang riil, bukan sekadar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olah raga, warung sekolah, tempat bermain, karyawisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum di sini berarti mengubah semua yang terlibat di dalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah, juga orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Dalam hal ini dikatakan bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, curriculum change is social change.

Dalam perjalanannya dunia Pendidikan Indonesia telah menerapkan enam kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 atau  Kurikulum Berbasis Kompetensi (meski belum sempat disahkan pemerintah, tetapi sempat berlaku di beberapa sekolah piloting project), dan terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan pemerintah melalui Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Nomor 23 tentang Standar Komnpetensi Lulusan, dan Permen Nomor 24 tentang Pelaksanaan kedua Permen tersebut. Ada rumor yang berkembang dalam masyarakat bahwa ada kesan “Ganti Menteri Pendidikan Ganti Kurikulum.” Kesan itu bisa benar bisa tidak, tergantung dari sudut mana kita memandang. Kalau sudut pandangnya politis, maka pergantian sistem pendidikan nasional, termasuk di dalamnya perubahan kurikulum akan selalu dikaitkan dengan kekuasaan (siapa yang berkuasa).

===== 000 =====

REFERENSI

Adiwikarta,S, 1994. Kurikulum yang Berorientasi pada Kekinian, Kurikulum untuk Abad 21, Jakarta : Grasindo.

Abdullah, Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Ar-Ruzz Media.

Roni, Ahmad. Masalah Kurikulum dalam Pembelajaran. (http://kurtek.epi.edu/kurpen/6-pembelajaran.html diakses, tgl 5 mei 2008).

Kusnandar. 2007. Guru Profisional. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

  1. A. Pendahuluan

Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.

Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum. Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.

Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.

Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula menyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.

Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.

Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apakah landasan pengembangan kurikulum? Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengetahui landasan pengembangan kurikulum.

  1. B. Landasan-landasan Pengembangan Kurikulum

Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.

  1. 1. Landasan Filosofis

Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.

  1. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
  2. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
  3. Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
  4. Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
  5. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.

Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.

Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.

2. Landasan Psikologis

Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan  psikologi belajar.

Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.

Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.

Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.

Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :

  • Motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
  • bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
  • Konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
  • pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
    5. keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.

Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.

Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu :

  • perbedaan tingkat kecerdasan
  • perbedaan kreativitas
  • perbedaan cacat fisik
  • kebutuhan peserta didik
  • pertumbuhan dan perkembangan kognitif.

3. Landasan Sosial-Budaya

Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.

Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.

Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.

Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.


4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.

Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.

Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian..

Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.

  1. C. Penutup

Salah satu variabel yang memengaruhi sistem pendidikan nasional  adalah kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum harus dapat mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat. Kurikulum harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat luas dalam menghadapi persoalan kehidupan yang dihadapi. Sudah sepatutnya kalau kurikulum itu terus diperbaharui seiring dengan realitas, perubahan, dan tantangan dunia pendidikan dalam membekali peserta didik menjadi manusia yang siap hidup dalam berbagai keadaan. Kurikulum harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan keberagaman keperluan dan kemajuan teknologi.

Kurikulum jangan sampai membebani peserta didik, seperti beban belajar yang terlalu berat. Beban belajar di Indonesia saat ini mencapai 1.000-2.000 jam per tahun. Bahkan sekolah-sekolah tertentu menerapkan jam belajar lebih lebih tinggi sehingga memberatkan siswa. Beban jumlah jam pelajaran seperti itu terlalu berat, apalagi selain tatap muka di kelas siswa harus mengikuti ekstrakurikuler dan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika dijumlahkan jam yang dibebankan pada siswa justru membuat siswa tidak ada waktu untuk istirahat. Beban belajar siswa di Indonesia kelebihan 20% jika dibandingkan dengan beban belajar siswa di luar negeri yang beban belajar siswa berkisar 800-900 jam per tahun. Oleh karena itu, kurikulum harus dirancang dalam rangka lebih mengembangkan segala potensi yang ada pada peserta didik.

===== 000 =====

REFERENSI

Adiwikarta,S, 1994. Kurikulum yang Berorientasi pada Kekinian, Kurikulum untuk Abad 21, Jakarta : Grasindo.

Abdullah, Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Ar-Ruzz Media.

Bahri, Syamsul. 2007. Landasan Pendidikan. (http://www.wordpress. com/syamsulbolg.html, diakses tanggal 22 Maret 2007).

PTS Online. 2007. Pentingnya Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan. (http://www.pts.co.id/filsafat.asp, diakses tanggal 22 Maret 2007).

Tirtarahardja, Umar dan Sulo, S.L.La. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Kusnandar. 2007. Guru Profisional. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

A. Pendahuluan

Pengembangnan kerikulum menunjuk pada kegiatan yang menghasilan kurikulum, yaitu penyususnan, pelaksana, penilaian, dan penyempurnaan kurikulum. Dengan demikian, maka pengembangan kurikulum dapat dikatakan sebagai desain, yaitu proses yang disengaja untuk memikirkan, merencanakan, dan menyeleksi bagian-bagian, teknik, dan prosedur yang mengatur suatu tujuan atau usaha (Lise Chamisijatin, dkk. 2008).

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.

Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Disana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulumyang nyata dan hidup. Perwujudan konsep, prinsip, dan aspek-aspek kurikulum tersebut selurnya terletak pada guru. Oleh karena itulah guru pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya perencana, pelaksana, penilai, dan pengembang kurikulum sesunggunya. Suatu kurikulum diharapkan memnberi landasan, isi, dan menjadi pedoman bagi pengembang kemampuan siswa secara optimal sesuai dengan tuntutan dan tantangan perkembangan masyarakat.

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apakah prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum? Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum.

  1. B. Prinsip-prinsip Dasar dalam Pengembangan Kurikulum

Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok :

1. Prinsip – prinsip umum:

  1. Relevansi
  • Relevansi keluar maksudnya isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat
  • Relevansi didalam yaitu ada kesesuaian atau konsisten dengan antara komponen-komponen kurikulum dan menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
  1. Fleksibilitas.

Suatu kurikulum yang baik adalah yang berisi hal-halyang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun kemampuan , dan latar belakang anak.

  1. Kontinuitas

Kurikulum hendaknya berkeinambungan antara satu tingkat dengan kelas, dengan kelas lainya, juga antara jenjang antara pendidikan dengan pekerjaan.

  1. Praktis

Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia. Kuruk kulum bukan hanya ideal tetapi juga harus praktis.

  1. Efektivitas

Meskipun kurikulum tersebut harus murah dan sederhana tetapi keberhasilannya serta efektifitasnya harus tetap diperhatikan. Kberhasilan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun secara kualitas.

Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu: tujuan-tujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian. Keempat aspek tersebut perlu mendapat perhatian dalam pengembangan kurikulum.

2.  Prinsip-prinsip khusus :

  1. Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan.
  • Ketentuan/kebijakan pemerintah
  • Survei persepsi orang tua
  • Survei pandangan para ahli
  • Pengalaman negara lain dalam maalah yang sama.
  • penelitian
  1. Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan.
  • Penjabaran tujuan kedalam bentuk pengalaman beljar yang diharapkan
  • Isi meliputi pengetahuan, sikap dan ketrampilan
  • Disusun berdasarkan urutan logis dan sistematis
  1. Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar.
  • Keselaasan pemilihan media
  • Memperhatikan perbedaan individual
  • Pencapaian aspek kognitif, afektif, skills
  1. Prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran.
  • Ketersediaan alat yang sesuai dengan situasi
  • Pengorganisasian alat dan bahan
  • Pengintegrasian kedalam proses
  1. Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
  • Kesesuaian dengan isi dan tingkat perkembangan siswa
  • Waktu
  • Administrasi penilaian

Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :

  1. Prinsip relevansi
  • Secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi).
  • Secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
  1. Prinsip fleksibilitas

Dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.

  1. Prinsip kontinuitas.

Yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.

  1. Prinsip efisiensi

Yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.

  1. Prinsip efektivitas.

Yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :

  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
  2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.
  3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
  4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
  5. Menyeluruh dan berkesinambungan Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
  6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum.

C. Penutup

Kurikulum memiliki peran kritis dan evaluatif. Artinya, suatu kurikulum dapat dengan kritis menilai, mengevaluasi, dan memilih, nilai-nilai positif yang perlu dilestarikan dan diwariskan kepada peserta didik. Selain itu, kurikulum juga mengemban peran kreatif. Dalam hal ini, kurikulum juga harus mampu menciptakan kreasi-kreasi baru dalam kaitannya, misalnya, dengan kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat sehingga kebudayaan tersebut lebih sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakat. Perkembangan kurikulum didasarkan atas prinsip: relevasi, efektivitas, efisiensi, fleksibel, kontinuitas, dan berorientasi pada tujuan.

===== 000 =====

REFERENSI

Adiwikarta,S, 1994. Kurikulum yang Berorientasi pada Kekinian, Kurikulum untuk Abad 21, Jakarta : Grasindo.

Abdullah, Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Ar-Ruzz Media.

Bahri, Syamsul. 2007. Landasan Pendidikan. (http://www.wordpress. com/syamsulbolg.html, diakses tanggal 22 Maret 2007).

PTS Online. 2007. Pentingnya Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan. (http://www.pts.co.id/filsafat.asp, diakses tanggal 22 Maret 2007).

Tirtarahardja, Umar dan Sulo, S.L.La. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Kusnandar. 2007. Guru Profisional. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT

DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

  1. A. Pendahuluan

Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan  bagi siswa di sekolah. Dalam kurikulum terintegrasi filsafat nilai-nilai pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli pendidikan /ahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsur-unsur masyarakat lainnya (Sukmadinata, 2004). Rancangan ini disusun dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan peserta didik, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh peserta didik, keluarga, dan masyarakat.

Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya perencana, penilai, dan pengembang kurikulum sesungguhnya. Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang lebih baik (Subandijah, 1993).

Pengembangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dalam proses pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukan semata-mata memproduksi bahan pelajaran melainkan lebih dititik beratkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pengembangan kurikulum merupakan proses yang menyangkut banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, antara lain pertimbangan akan pernyataan tentang kurikulum, siapa yang terlibat dalam pengembangan kurikulum, bagaimana prosesnya, apa tujuannya kepada siapa kurikulum ditujukan. Dalam makalah ini kami hanya memfokuskan pada siapa yang terlibat dalam pengembangan kurikulum.

Kegiatan pengembangan kurikulum mencangkup penyusunan kurikulum itu sendiri, pelaksanaan di sekolah-sekolah yang disertai dengan penilaian yang intensif, penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan terhadap komponen-komponen tertentu dari kurikulum tersebut atas dasar hasil penilaian. Faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum menurut diantaranya adalah:

  • Diawali oleh adanya rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil kurikulum yang sedang atau telah berjalan
  • Terjadinya perubahan dalam organisasi kurikulum sekolah dasar.

Agar usaha perbaikan kurikulum di sekolah dapat berhasil dengan baik, hendaknya diperhatikan langkah-langkah yang berikut:

  • Adakan penilaian umum tentang sekolah, dalam hal apa sekolah itu lebih baik atau lebih rendah mutunya daripada sekolah lain
  • Selidiki berbagai kebutuhan, antara lain kebutuhan siswa, kebutuhan guru, dan kebutuhan akan perubahan dan perbaikan
  • Mengidentifikasi masalah serta merumuskannya, yang timbul berdasarkan studi tentang berbagai kebutuhan yang tersebut di atas lalu memilih salah satu yang dianggap paling mendesak.
  • Mengajukan sarana perbaikan, sebaiknya dalam bentuk tertulis, yang dapat didiskusikan bersama, apakah sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku, menilai maknanya bagi perbaikan sekolah dan menjelaskan makna serta implikasinya.
  • Menyiapkan desain perencanaannya yang mencangkup tujuan, cara mengevaluasi, menentukan bahan pelajaran, metode penyampaiannya, percobaan, penilaian, balikan, perbaikan, pelaksanaan, dan seterusnya.
  • Memilih anggota panitia, sedapat mungkin sesuai dengan kompetensi masing-masing
  • Mengawasi pekerjaan panitia, biasanya oleh kepala sekolah
  • Melaksanakan hasil panitia oleh guru dalam kelas. Oleh sebab pekerjaan ini tidak mudah, kepala sekolah hendaknya senantasa menyatakan penghargaannya atas pekerjaan semua yang terlibat dalam usaha perbaikan ini.
  • Menerapkan cara-cara evaluasi, apakah yang direncanakan itu dapat direalisasikan. Apa yang indah di atas kertas, belum tentu dapat diwujudkan
  • Memantapkan perbaikan, bila ternyata usaha itu berhasil baik dan dijadikan pedoman selanjutnya. (Nasution, 2003)

Perubahan kurikulum melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, di dalam mengubah kurikulum perlu dipertimbangkan faktor-faktor manusia (human factors), yaitu: guru, peserta didik, orang tua peserta didik, staf administrasi sekolah, pemakai lulusan, serta pihak lain yang mungkin terlibat dalam sistem pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan (Sudrajat, 2008). Dari pihak-pihak tersebut yang secara terus menerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum adalah: administrator pendidikan, guru, para ahli,dan orang tua (Sukmadinata, 2004).

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  siapa saja pihak-pihak yang mempengaruhi pengembangan kurikulum? Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengetahui pihak-pihak yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.

B. Pihak-pihak yang terlibat dalam Pengembangan Kurikulum

1.     Peranan Para Administrator Pendidikan

Peranan para administrator di tingkat pusat dalam pengembangan kurikulum adalah menyusun dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum (Sukmadinata, 2004). Kerangka dasar dan program inti tersebut akan menentukan minimum course yang dituntut. Atas dasar kerangka dasar dan program inti tersebut para administrator daerah  dan administrator lokal mengembangkan kurikulum sekolah bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah.

Administrator pendidikan terdiri dari:

  • Administrator Pusat : direktur dan kepala pusat
  • Administrator Daerah: Kepala Kantor Wilayah
  • Administrator Lokal: Kepala Kantor Kabupaten, Kecamatan dan Kepala Sekolah.

2. Peranan Para Ahli

Pengembangan kurikulum membutuhkan bantuan pemikiran para ahli, baik ahli pendidikan, ahli kurikulum, maupun ahli bidang studi/disiplin ilmu. Dengan mengacu pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah, baik kebijaksanaan pembangunan secara umum maupun pembangunan pendidikan, perkembangan tuntutan masyarakat dan masukan dari pelaksanaan pendidikan dan kurikulum yang sedang berjalan, para ahli pendidikan memberikan alternative konsep pendidikan dan model kurikulum yang dipandang paling sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.

3. Peranan Guru

Guru adalah sebagai perencanan, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Sekalipun ia tidak mencetuskan sendiri konsep-konsep tentang kurikulum, guru merupakan penerjemah kurikulum.Dia yang mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan dikelasnya. Oleh karena itu guru bisa dikatakan sebagai barisan pengembangan kurikulum yang terdepan.

Adapun peran guru dalam mengembangkan kurikulum antara lain:

  • Guru sebagai perencana pengajaran. Artinya, guru harus membuat perencanaan pengajaran dan persiapan sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar.
  • Guru sebagai pengelola pengajaran harus dapat menciptakan situasi belajar yang memungkinkan tujuan belajar yang telahditentukan.
  • Guru sebagai evaluator. Artinya, guru melakukan pengukuran untuk mengetahui apakah anak didik telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan.

Guru merupakan titik sentral suatu kurikulum berkat usaha guru, maka timbul kegairahan belajar siswa. Sehingga memacu belajar lebih keras untuk mencapai tujuan belajar mengajar yang bersumber dari tujuan kurikulum, untuk itu guru perlu memiliki ketrampilan belajar mengajar. Penguasaan ketrampilan tersebut bergantung pada bahan yang dimilikinya dan latihan keguruan yang telah dialaminya.

Keberhasilan belajar mengajar antar lain ditentukan oleh kemampuan kepribadiannya. Guru harus bersikap terbuka dan menyentuh kepribadian siswa. Guru perlu mengembangkan gagasan secaa kreatif, memiliki hasrat dan keinginan serta wawasan intelektual yang luas. Guru harus yakin terhadap potensi belajar yang dimiliki oleh siswa.

Hal-hal yang perlu dikuasai guru; guru perlu memahami dan menguasai banyak hal agar pelaksanaan pengajaran berhasil, guru juga harus mau dan mampu menilai diri sendiri secara terus menerus dalam kaitannya dengan tingkat keberhasilan dan pelaksanaan pengajarannya. Guru harus menguasai bahan pengajaran sesuai jenjang kelas yang diajarnya, menguasai strategi pembelajaran yang berguna untuk menyampaikan pengetahuan kepada siswa dan guru juga harus menjadi suri tauladan bagi siswanya dan memberikan hal-hal yang bermakna bagi perkembangannya kelak.

Kemampuan yang harus dimiliki seorang guru, yaitu :

1.     Kemampuan Profesional, yang mencakup :

  • Penguasaan materi pelajaran
  • Penguasaan landasan dan wawasan kependidikan
  • Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran.

2.     Kemampuan Sosial

3.     Kemampuan Personal

  • Penampilan sikap
  • Pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai yang seyogyanya dimiliki guru.
  • Penampilan upaya menjadikan dirinya sebagai contoh bagi siswanya.

Pengembangan kurikulum dari segi pengelolaannya dibedakan menjadi :

1.     Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi

Disini guru tidak mempunyai peranan dalam perancangan, dan evaluasi     yang bersifat makro, mereka berperan dalam kurikulum mikro. Kurikulum makro disusun oleh tim khusus, guru menyusun kurikulum dalam jangka waktu 1 tahun, atau 1 semester. Menjadi tugas guru untuk menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat memilih dan menyusun bahan pelajaran sesuai kebutuhan, minat dan tahap perkembangan anak, memilih metode dan media mengajar yang bervariasi, kurikulum yang tersusun sistematis dan rinci akan memudahkan guru dalam implementasinya.

2.     Peranan guru dalam pengembangan kurikulum desentralisasi

Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah. Pengembangan kurikulum ini didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah tersebut. Jadi kurikulum terutama isinya sangat beragam, tiap sekolah punya kurikulum sendiri. Peranan guru lebih besar daripada dikelola secara sentralisasi, guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaran dalam program tahunan/semester/satuan pengajaran, tetapi didalam menyusun kurikulum yang menyeluruh untuk sekolahnya. Di dini guru juga bukan hanya berperan sebagai pengguna, tetapi perencana, pemikir, penyusun, pengembang dan juga pelaksana dan evaluator kurikulum.

(Nurhayati, S.Pd.I, 2008)

4. Peranaan Orang tua Murid

Peranan mereka dapat berkenaan dengan dua hal, pertama dalam penyusunan kurikulum. Dalam penyusunan kurikulum mungkin tidak semua orang tua dapat ikut serta hanya terbatas kepada beberapa orang saja yang cukup waktu dan mempunyai latar belakang yang memadai. Kedua, dalam pelaksanaan kurikulum diperlukan kerja sama yang sangat erat antara guru dengan para orang tua murid. Sebagian kegiatan belajar yang dituntut kurikulum dilaksanakan dirumah. Dan orang tua  mengikuti atau mengamati kegiatan belajar anakanya dirumah.

5. Peran Komite Sekolah

Komite Sekolah merupakan nama baru pengganti Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Secara substansial kedua istilah tersebut tidak begitu mengalami perbedaan. Yang membedakan hanya terletak pada pengoptimalan peran serta masyarakat dalam mendukung dan mewujudkan mutu pendidikan. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah.

Tujuan pembentukan Komite Sekolah adalah:

  • Mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
  • Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
  • Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002 dalam Trimo, 2008).

Adapun fungsi Komite Sekolah, sebagai berikut:

  • Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
  • Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/ dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
  • Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
  • Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:

1)    kebijakan dan program pendidikan

2)    rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah (RAPBS)

3)    kriteria kinerja satuan pendidikan

4)    kriteria tenaga kependidikan

5)    kriteria fasilitas pendidikan, dan

6)    hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan

  • Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan
  • Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
  • Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

Secara kontekstual, peran Komite Sekolah sebagai:

  • Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
  • Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
  • Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
  • Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Mengacu pada peranan Komite Sekolah terhadap peningkatan mutu pendidikan, sudah barang tentu memerlukan dana. Dana dapat diperoleh melalui iuran anggota sesuai kemampuan, sumbangan sukarela yang tidak mengikat, usaha lain yang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan pembentukan Komite Sekolah. Sekolah bukanlah suatu lembaga yang terpisah dari masyarakat. Sekolah merupakan lembaga yang bekerja dalam konteks sosial. Sekolah mengambil siswanya dari masyarakat setempat, sehingga keberadaannya tergantung dari dukungan sosial dan finansial masyarakat. Oleh karena itu, hubungan sekolah dan masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam keseluruhan kerangka penyelenggaraan pendidikan.

Adanya hubungan yang harmonis antar sekolah dan masyarakat yang diwadahi dalam organisasi Komite Sekolah, sudah barang tentu mampu mengoptimalkan peran serta orang tua dan masyarakat dalam memajukan program pendidikan, dalam bentuk:

  • Orang tua dan masyarakat membantu menyediakan fasilitas pendidikan, memberikan bantuan dana serta pemikiran atau saran yang diperlukan sekolah.
  • Orang tua memberikan informasi kepada sekolah tentang potensi yang dimiliki anaknya, dan
  • Orang tua menciptakan rumah tangga yang edukatif bagi anak

Berkenaan dengan peningkatan hubungan sekolah dengan masyarakat, subtansi pembinaannya harus diarahkan kepada meningkatkan kemampuan seluruh personil sekolah dalam:

  • Memupuk pengertian dan pengetahuan orang tua tentang pertumbuhan pribadi anak.
  • Memupuk pengertian orang tua tentang cara mendidik anak yang baik, dengan harapan mereka mampu memberikan bimbingan yang tepat bagi anak-anaknya dalam mengikuti pelajaran.
  • Memupuk pengertian orang tua dan masyarakat tentang program pendidikan yang sedang dikembangkan di sekolah.
  • Memupuk pengertian orang tua dan masyarakat tentang hambatan-hambatan yang dihadapi sekolah.
  • Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta memajukan sekolah.
  • Mengikutsertakan orang tua dan tokoh masyarakat dalam merencanakan dan mengawasi program sekolah

6. Peran Pengusaha

Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan : (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sebagai contoh, sebagaimana diungkapkan oleh Kadisdik Jabar, Dadang Dally bahwa dunia usaha dan dunia industri merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Perihal kegiatan kerjasama dengan dunia usaha sinergitas telah mulai dilakukan. Prosesnya telah memasuki tahap inventarisasi. Implementasinya, dunia usaha didorong untuk membangun sekolah, bukan menggalang dana dari dunia usaha.

C. Kesulitan-Kesulitan dalam Perubahan Kurikulum

Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaruan. Ide yang baru tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum dipraktikan secara umum di sekolah-sekolah ( Nasution, 2003).

Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif dan guru termasuk golongan itu juga. Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin. Adakalanya cara yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan pembaharuan memerlukan pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang suka bekerja lebih banyak daripada yang diperlukan. Akan tetapi ada pula kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan atau wewenang untuk mengadakan perubahan karena peraturan-peraturan administratif. Guru itu hanya diharapkan mengikuti instruksi atasan.

Pembaharuan kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang mencetuskannya. Dengan meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaruan yang telah dimulainya itu.

Dalam pembaruan kurikulum ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru lebib “mudah” daripada menerapkannya dalam praktik. Dan sekalipun telah dilaksanakan sebagai percobaan, masih banyak mengalami rintangan dalam penyebarluasannya, oleh sebab harus melibatkan banyak orang dan mungkin memerlukan perubahan struktur organisasi dan administrasi sistem pendidikan.

Pembaharuan kurikulum sering pula memerlukan biaya yang Iebih banyak untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu dapat dipenuhi. Tak jarang pula pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang pada yang sudah lazim dilakukan atau yang kurang percaya akan yang baru sebelum terbukti kelebihannya Bersifat kritis terhadap pembaharuan kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.

D. Penutup

Perubahan kurikulum melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, di dalam mengubah kurikulum perlu dipertimbangkan faktor-faktor manusia (human factors), yaitu: guru, peserta didik, orang tua peserta didik, pemakai lulusan, politikus, pengusaha, administrator pendidikan, serta pihak lain yang mungkin terlibat dalam sistem pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

===== 000 =====

REFERENSI

Adiwikarta,S, 1994. Kurikulum yang Berorientasi pada Kekinian, Kurikulum untuk Abad 21, Jakarta : Grasindo.

Abdullah, Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Ar-Ruzz Media.

Bahri, Syamsul. 2007. Landasan Pendidikan. (http://www.wordpress. com/syamsulbolg.html, diakses tanggal 22 Maret 2007).

PTS Online. 2007. Pentingnya Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan. (http://www.pts.co.id/filsafat.asp, diakses tanggal 22 Maret 2007).

Tirtarahardja, Umar dan Sulo, S.L.La. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Kusnandar. 2007. Guru Profisional. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENGEMBANGAN KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

A.  Pendahuluan

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.

Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti: politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.

Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori para pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.

Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam implementasi kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal keragaman itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi juga kurikulum sebagai hasil.

Waring (dalam cienurani, 2008) mengemukan posisi keragaman sebagai variabel bebas memang berada pada tataran sekolah dan masyarakat di mana suatu kurikulum dikembangkan dan diharapkan menjadi pengubah yang tangguh sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dapat diperkirakan (perceived needs of a society). Secara nyata pengaruh tersebut berada pada diri guru yang bertanggungjawab terhadap pengembangan kurikulum dan pada siswa yang menjalani kurikulum. Dengan perkataan lain, pengaruh tersebut berada pada tataran yang tak boleh diabaikan sama sekali di mana studi kurikulum memperlihatkan kerentanan, dan kemungkinan besar kurikulum berubah atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah direncanakan dan diputuskan. Oleh karena itu, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kurikulum? Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.

B. Pengertian Kurikulum

Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. George A. Beauchamp (dalam Sudrajat, 2008) mengemukakan bahwa : “A Curriculun is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”. Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (dalam Sudrajat, 2008) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (dalam Sudrajat, 2008) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses study and list of subject and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of school.

Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan (dalam Sudrajat, 2008) mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:

  • kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
  • kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.
  • kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
  • kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.

Sementara itu, Purwadi (dalam Sudrajat, 2008) memilah pengertian kurikulum menjadi enam bagian, yaitu :

  • kurikulum sebagai ide
  • kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam melaksanakan kurikulum
  • kurikulum menurut persepsi pengajar
  • kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar di kelas
  • kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta didik
  • kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.

Dalam perspektif kebijakan pendidikab nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pegembangan Kurikulum

Dalam Sukmadinata (2006 : 158), ada tiga faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, yaitu :

  • Perguruan Tinggi
  • Masyarakat
  • Sistem nilai

1. Pergururan Tinggi

Perguruan tinggi setidaknya memberikan dua pengaruh terhadap kurikulum sekolah.

Pertama, dari segi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan diperguruan tinggi umum. Pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dikembangkan di perguruan tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan.

Kedua, dari segi pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK, seperti IKIP, FKIP, STKIP). Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mempengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya.

Pengusaan keilmuan, baik ilmu pendidikan maupun ilmu bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. Guru-guru yang mengajar pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang ada dewasa ni, umumnya disiapkan oleh LPTK melalui berbagai program, yaitu program diploma dan sarjana. Pada Sekolah Dasar masih banyak guru berlatar belakang pendidikan SPG dan SGO, tetapi secara berangsur-angsur mereka mengikuti peningkatan kompetensi dan kualifikasi pendidikan guru melalui program diploma dan sarjana.

2. Masyarakat

Sekolah merupakan bagian dari masyarakat, yang diantaranya bertugas mempersiapkan anak didik untuk dapat hidup secara bermatabat di masyarakat. Sebagai bagian dan agen masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di tempat sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi masyarakat penggunanya serta upaya memenuhi kebutuhan dan tuntutan mereka.

Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin merupakan masyarakat yang homogen atau heterogen. Sekolah berkewajiban menyerap dan melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha yang ada di masyarkat akan mempengaruhi pengembangan kurikulum. Hal ini karena sekolah tidak hanya sekedar mempersiapkan anak untuk selesai sekolah, tetapi juga untuk dapat hidup, bekerja, dan berusaha. Jenis pekerjaan yang ada di masyarakat berimplikasi pada kurikulum yang dikembangkan dan digunakan sekolah.

3. Sistem Nilai

Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat juga bertangung jawab dalam pemeliharaan dan pewarisan nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat.

Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum. Persoalannya bagi pengembang kurikulum ialah nilai yang ada di masyarakat itu tidak hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen, terdiri dari berbagai kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, dan kelompok spritual keagamaan, yang masing-masing kelompok itu memiliki nilai khas dan tidak sama. Dalam masyarakat juga terdapat aspek-aspek sosial, ekonomi, politk, fisik, estetika, etika, religius, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut sering juga mengandung nilai-nilai yang berbeda.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengakomodasi pebagai nilai yang tumbuh di masyarakat dalam kurikulum sekolah, diantaranya :

  • Mengetahui dan memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat
  • Berpegang pada prinsip demokratis, etis, dan moral
  • Berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang patut ditiru
  • Menghargai nlai-nilai kelompok lain
  • Memahami dan menerima keragaman budaya yang ada

Berdasarkan analisis kami, bukan hanya 3 (tiga) faktor yang dikemukan oleh Sukmadinata (2006) saja, yang merupakan faktor-faktoe yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, tetapi masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum. Salah satunya landasan pengembangan kurikulum itu sendiri. Landasan pengembangan kurikulum sangat mempengaruhi pengembangan kurikulum karena bila landasannya berupa maka akan mempengaruhi pengembangan kurikulum.

Berdasarkan analisis kami, maka faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, diantaranya :

  • · Filosofis
  • · Psikologis
  • · Sosial budaya
  • · Politik
  • · Pembangunan negara dan perkembangan dunia
  • · Ilmu dan teknologi (IPTEK)

1.  Filosofis

Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti: perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (dalam Sudrajat, 2008), di bawah ini diuraikan tentang isi dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.

  1. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan  keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
  2. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
  3. Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri.
  4. Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
  5. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya.

Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.

Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara selektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme. Ini merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum (dari teacher center menjadi student center).

2.  Psikologis

Sukmadinata (2006: 46) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan.

Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :

  1. Motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
  2. Bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
  3. Konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang.
  4. Pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang.
  5. Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.

Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.

Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (dalam Sudrajat: 2008) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.

3.  Sosial-Budaya

Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.

Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.

Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.

Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.

Israel Scheffer (dalam Sukmadinata, 2006: 60) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.

4.  Politik

Wiles Bondi (dalam Sudrajat, 2008) dalam bukunya `Curriculum Development: A Guide to Practice’ turut menjelaskan pengaruh politik dalam pembentukan dan pengembangan kurikulum.

Hal ini jelas menunjukkkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh proses politik, kerana setiap kali tampuk pimpinan sesebuah negara itu bertukar, maka setiap kali itulah kurikulum pendidikan berubah.

5.  Pembangunan Negara dan Perkembangan Dunia

Pengembangan kurikulum juga dipengaruhi oleh faktor pembangunan negara dan perkembangan dunia. Negara yang ingin maju dan membangun tidak seharusnya mempunyai kurikulum yang statis. Oleh karena itu kurikulum harus diubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan sains dan teknologi.

Kenyataan tersebut jelas menunjukkan bahwa perkembangan teknologi telah membawa perubahan yang pesat pada kehidupan manusia di muka bumi ini. Oleh karena itu pengembangan kurikulum haruslah sejajar dengan pembangunan negara dan dunia. Kandungan kurikulum pendidikan perlu menitikberatkan pada mata pelajaran sains dan kemahiran teknik atau vokasional kerana tenaga kerja yang mahir diperlukan dalam zaman yang berteknologi dan canggih ini.

6. Ilmu dan Teknologi (IPTEK)

Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang

Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.

Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.

Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi situasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.

Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.

D.  Hambatan-hambatan yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum

Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan-hambatan antara lain:

  1. Kurangnya partisipasi guru
  2. Datang dari masyarakat.
  • Kurang waktu
  • Kekurang sesuaian pendapat (baik antara sesama guru dengan kepala sekolah dan administrator)
  • Karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.

Masyarakat merupakan sumber input dari sekolah, karena keberhasilan pendidikan, ketetapan kurikulum yang dugunakan  membutuhkan bantuan, serta input fakta dari mayarakat.

  1. Masalah biaya.

E. Penutup

Proses perkembangan kurikulum sebagai sifatnya yang sentiasa berubah turut dipengaruhi oleh faktor-faktor persekitaran yang merangsang reaksi manusia yang terlibat dalam kepentingannya. Hasrat terhadap perubahan kurikulum itu menggambarkan keperluan pendidikan yang menjadi wadah penerus kemajuan bangsa dan negara itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kurikulum adalah elemen yang saling berkait antara satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kurikulum itu sendiri mencerminkan idealisme dan perubahan keperluan masyarakat dan negara, melalui institusi persekolahan yang akan meneruskan kebudayaan.

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, yaitu meliputi:

  • Pergururan Tinggi
  • Masyarakat
  • · Sistem Nilai
  • · Filosofis
  • · Psikologis
  • · Sosial-Budaya
  • Politik
  • Pembangunan Negara Dan Perkembangan Dunia
  • Ilmu dan Teknologi (IPTEK)

Faktor-foaktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, harus menimaliskan faktor yang bersifat negatif. Oleh karena itu bagi pengembang kurikulum diharapkan dapat bekerjasama dengan kelompok lain dan adanya ujicoba agar faktor negatif dapat diminimaliskan.

===== 000 =====

REFERENSI

Chamisijatin, Lisa, dkk. 2008. Pengembangan Kurikulum SD. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Cienurani. 2008. Revisi Kurkulum. (http://cienurani.blog.com/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2008).

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudrajat, Akhmad. 2008. Pengembangan Kurikulum (http://istpi. wordpress.com/2008/10/27/pengembangan-kurikulum/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2008).

———-. 2008. Pengertian Kurikulum. (http://akhmadsudrajat.wordpress .com/2008/07/08/pengertian-kurikulum/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2008).

MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

A.  Pendahuluan

Kurikulum  dalam bentuknya yang sederhana merupakan himpunan pengalaman, system nilai, pengetahuan, keterampilan, dan pola sikap yang akan diberikan kepada siswa. Keseluruhan yang disajikan itu merupakan bekal para siswa dalam mengembangkan masyarakat dikemudian hari.

Model adalah suatu bentuk mengenai susunan proses yang diwujudkan dalam penalaran hipotesis dan rumusan-rumusan teori, yang kemudian menggunakan perbandingan data, yang dipakai untuk menganalisa data tersebut. Dalam pemahaman ini model hamper identik dengan skema.

Pada dasarnya suatui model adalah pola yang dapat membantu berfikir, konseptualisasi, suatu proses yang menunjukan prinsip-prinsip, dan prosedur yang dapat menjadikan pedoman bertindak. Suatu model dapat berwujud diagram atau langkah-lanhkah yang harus diambil, adapula berupa bagan garis, kotak-kotak, lingkaran, tanda panah, dan sebagainya.

Model yang dipergunakan dalam proses pengembangan kurikulum dapat ditunjukan mulai dari satu model sederhana  sampai dengan model yang paling sempurna.

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apa saja model-model pengembangan? Oleh karena itu, maka makalah ini bertujuan untuk mengetahui model-model pengembangan kurikulum.

B. Model-Model Pengembangan Kurikulum

  1. 1. Model Pengembangan Kurikulum dari Rogers

Model dalam pengembangan kurikulum yang dikemukan oleh Rogers, yaitu:

  • Model I

Pendidikan hanyalah meliputi informasi dan ujian. Asumsi yang mendasari pemiiran ini menyatakan bahwa:

  • Evaluasi adalah pendidikan dan pendidikan adalah evaluasi
  • Pendidikan adalah akumulasi dari materi dan informasi
  • Model II

Sebagai suatu model pengembangan kurikulum yang telah diperbaiki.

  • Model III

Merupakan pengembangan lebih lanjut dari model sebelumnya. Model ini telah memasukan teknologi pendidikan sebagai alat dan perangkat lunak yang mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar.

  1. 2. Model Pengembangan Kurikulum dari Ralp Tyler.

Model pengembangan kurikulum ini berguna untuk membuat desaint dan pelaksanaan suatu mata pelajaran baru yang lebih memadai. Jika tujuan dan sasaran suatu mata pelajaran yang telah ditentukan, maka pengembangan kurikulum harus memperhatikan komponen-komponen sebagaiberikut:

  • Hakikat siswa
  • Hakika materi pelajaran
  • Kebutuhan masyuarakat
  • Hambatan-hambatan
  • Hakikat guru

Apabila komponen-komponen tersebut diabaikan, maka suatu mata pelajaran mungkin dapat dihasilkan, tetapi penuh kesulitan dan tidak relevan bagi siswa.

  1. 3. Model Pengembangan menurut Robert S. Zais

Model dalam pengembangan kurikulum yang dikemukan oleh Robert S. Zais, yaitu:

  • Model Administratif

Dikatakan demikian, klarena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum dating dari administrator pendidikan dan penggunaan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator pendidikan, membentuk suatu tim pegarah pengembangan kurikulum.

  • Model dari Bawah (Grass Roots)

Model grass roots adalah pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru-guru atau sekolah. Model ini berkembang dalam system desentralisasi.

  • Model Demonstrasi

Model ini terdapat dua varisasi. Pertama sekelompok guru dari suatu sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan untuk melaksanakan kurikulum. Tujuannya adalah agar dapat diterapkan pada lingkup yang lebih luas. Kedua, sejumlah guru mencoba mengadakan penelitian terhadap kurikulum yang adamelalui percobaan lain yang berlaku.Hasilnya untuk kemudian dilakukan didaerah yang lebih luas.

  • Sistem Beauchamp

Ada lima langkah penting dalam model ini. yaitu:

  • Kegiatan yang harus dilakukan adalah menetapkan areayang akan dicangkup oleh pengembangan kurikulum
  • Menetapkan personalia
  • Pengorganisasian dan penentuan prosedur perencanaan kurikulum
  • Mengimplementasikan kurikulum secara sistematis
  • Menyelenggarakan evaluasi kurikulum
  • Model Terbalik Hilda Taba

Model ini merupakan kebalikan cara yang lajim ditempuh secara deduktif, atau menggunakan cara induktif. Karena itu model ini dimulai dengan melakukan eksperimen, diteorikan kemudian diimplementasikan. Penerapan model ini untuk menjembatani lebih dekat antara teori dan praktik, serta menghindari sifat keumuman dan keabstrakan kurikulum yang sering terjadi, jika dilakukan tanpa kegiatan eksperimental.

  • Model Hubungan Interpersonal dari Rogers

Bahwa kurikulum diperlukan guna mengembangkan individu yang terbuka, lues dan adaptis terhadap situasi perubahan. Kurikulum ini hanya dapat digunakan oleh pendidikan yang terbuka lues, dan berorientasi pada proses, sehingga diperlukan kelompok dalam latihan sensitive.

  • Model Action Research yang Sistematis

Ini berdasarkan pada asumsi bahwa perubahan kurikulum merupakan perubahan social. Hal itu mencangkup suatu proses yang melibatkan orang tua, siswa, guru, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat.

Model ini berdasarkan dari tiga factor, yaitu:

  • Hubungan antar manusia
  • Organisasi sekolah dan masyarakat
  • Otoritas ilmu
  • Model Teknologi

Model ini mempunyai tiga variasi, yaitu:

  • Model analisis prilaku melalui kegiatan dengan jalan melatih kemampuan anak didik, mulai dari sederhana sampai padayang kompleks secara bertahap.
  • Model analisis system melalui kegiatannya dengan jalan menjabarkan tujuan-tujuan secara khusus, kemudian menyusun alat-alat pengukur untuk menilai keberhasilannyadan mengidentifikasikan sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraannya.
  • Model berdasarkan computer memulai kegiatan dengan jalan mengidentifikasikan sejumlah unit-unit kurikulum lengkap dengan tujuan-tujuan instruksional khususnya.

C. Analisis Terhadap Model-Model Pengembangan Kurikulum

Analisis terhadap model pengembangan kurikulum dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:

  • Segi penekanan suatu titi pandang
  • Segi keuntungan model
  • Segi kekurangan model

D. Model Pengembangan Kurikulum Diindonesia

Pengembangan kurikulum diindonesia yakni pendekatan yang berorientasi pada baghan pelajaran dan pendekatan yang berorientasi pada bahan pelajaran dan pendekatan yang berorientasi pada tujuan.

Model yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum setiap jenjang sekolah ialah model yang berorientasi pada tujuan. Pertanyaan pertama ynag muncul adalah apakah yang ingin dicapai, atau pengetahuan keterampilan dan sikap apakah yang diharapkan dimiliki siswa setelah mereka menyelesaikan kurikulum?

Jawaban atas pertanyaan diatas adalah merumuskan tujuan-tujuan dalam bentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diharapkan. Dengan rumusan tujuan itu , maka ditetapkan pokok materi pelajaran dan kegiatan belajar. Kesemuanya diharapkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.

Pengembangan kurikulum di Indonesia meliputi tiga tahap, yaitu:

  • Pengembangan Program Tingkat Lembaga
  • Pengembangan Program Setiap Bidang Studi dan Mata Pelajaran
  • Pengembangan Program Pengajaran di Kelas
  1. 1. Pengembangan Program Tingkat Lembaga
  • Perumusan tujuan institusional

–          Tujuan pendidikan nasional

–          Harapan masyarakat

–          Harapan sekolah yang lebih tinggi

  • Penetapan isi dan stuktur kurikulum

Penetapan struktur kurikulum yang harus mencangkup beberapa hal, diantaranya:

–          Jenis-jenis program pendidikan

–          Sistem kelasdan unit waktu yang dipergunakan

–          Jumlah bidang studi

–          Alokasi waktu yang dipergunakan untuk setiap mata pelajaran

  • Penyusunan strategi pelasanaan kurikulum

Kegiatan ini berhubungan dengan pelaksanaan kurikulum disekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut mencangkup:

  • Pelaksanaan pengajaran,
  • Mengadakan penilaian,
  • Mengadakan penyuluhan,
  • Mengadakan administrasi dan supervise.
  1. 2. Pengembangan Program Setiap Bidang Studi dan Mata Pelajaran

Pengembangan program setiap bidang studiatau mata pelajaran dilaksanakan dengan menempuh langkah-langkah kegiatan, sebagai berikut:

a)           Perumusan Tujuan Kurikulum

Tujuan kulikulermerupakan rumusan tujuan yang mencangkup aspek pengetahuan, sikap, dan nilai, serta keterampilan yang diharapkan siswa setelah mereka menyelesaikan setiap bidang stadinyaselama program itu diajarkan

b)           Tujuan Instruksional

Tujuan instruksional adalah tujuan yang berisikan perubaha perilaku siswa.

c)           Menetapkan Pokok dan Subpokok Bahasan.

Tujuan instruktur dapat tercapai oleh sejumlah pokokbahasan dari uraian bahan pengajaran.

d)            Menyusun Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP)

Penyususna Garis-garis besar Penyusunan Program (GBPP) dilakukan setelah ketiga kegiatan diatas telah disusun. GBPP inilah yang nantinya dipergunakan oleh staf pengajar sebagai pedoman pokok dalam proses beljar mengajar.

  1. 3. Pengembangan Program Pengajaran di Kelas

Penyusunan setiap satuan pelajaran mencangkup komponen-komponen sebagai berikut:

  • tujuan instruksional umum (TIU) diturunkan langsung dari GBPP.
  • Tujuan instruksional khusus (TIK) dijabarkan dari TIU, terdapatdalam GBPP yang dikerjakan oleh GBPP yang dikerjakan oleh guru.
  • Uraian bahan pelajaran dijabarkan dari uraikan bahan dalam GBPP dengan mendasarkan pada TIK-TIK yang telah dirumuskan sebelumnya.
  • Perencanaan kegiatan belajar mengajar yang berpungsi mengatur kegiatan yang akan dilakuakan guru dan siswa.
  • Pemilihan metode alat atau media yang dipergunakan dan sumber bahan pelajaran.
  • Penilaian yang menyangkut prosedur dan alat penelitian.

E. Penutup

Pada dasarnya suatui model adalah pola yang dapat membantu berfikir, konseptualisasi, suatu proses yang menunjukan prinsip-prinsip, dan prosedur yang dapat menjadikan pedoman bertindak. Suatu model dapat berwujud diagram atau langkah-lanhkah yang harus diambil, adapula berupa bagan garis, kotak-kotak, lingkaran, tanda panah, dan sebagainya.

Analisis terhadap model pengembangan kurikulum dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:

  • Segi penekanan suatu titi pandang
  • Segi keuntungan model
  • Segi kekurangan model

Pengembangan kurikulum di Indonesia meliputi tiga tahap, yaitu:

  • Pengembangan Program Tingkat Lembaga
  • Pengembangan Program Setiap Bidang Studi dan Mata Pelajaran
  • Pengembangan Program Pengajaran di Kelas

===== 000 =====

REFERENSI

Chamisijatin, Lisa, dkk. 2008. Pengembangan Kurikulum SD. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Cienurani. 2008. Revisi Kurkulum. (http://cienurani.blog.com/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2008).

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudrajat, Akhmad. 2008. Pengembangan Kurikulum (http://istpi. wordpress.com/2008/10/27/pengembangan-kurikulum/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2008).

———-. 2008. Pengertian Kurikulum. (http://akhmadsudrajat.wordpress .com/2008/07/08/pengertian-kurikulum/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2008).

KURIKULUM BERBASIS KOMPTENSI (KBK)

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

A.  Pendahuluan

Kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu desain kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi tertentu. Saylor (dalam Gafur, dkk. 2001) menartikan kurikulum berbasis kompetensi sebagai rancangan kurikulum yang dikembangkan berdasarkan atas seperangkat kompetensi khusus, yang harus dipelajari dan atau ditampilkan siswa. Seperangkat kompetensi tersebut, pada akhirnya akan menggambarkan sebuah profil kompetensi yang utuh, terukur dan teramati.

Mengacu pada pengertian di atas, setidaknya pengembangan kurikulum berbasis kompetensi mencakup pengembangan silabus dan system penilaiannya. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan penilaian mencakup jenis ujian, bentuk soal, dan pelaksaannya. Jenis ujian adalah berbagai tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Bentuk soal terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau soal uraian.

Pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasis kompetensi bersifat hierarkhis atau berurutan yaitu dengan urutan; standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok beserta uraian materi pembelajaran, indicator ketercapaian, dan soal ujian. Standar kompetensi, kompetensi dasar, dan standar materi pokok, dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan penentuan uraian materi pembelajaran (uraian dari materi pokok), indicator pencapaian, dan penentuan soal ujian dikembangkan oleh setiap daerah atau sekolah. Dengan demikian, materi pembelajaran dan soal ujian yang digunakan akan menampung keperluan daerah sesuai dengan karakteristik masing-masing. Selain itu, sumber daya manusia di semua daerah akan diberdayakan sehingga tidak tergantung pada Departemen Pendidikan Nasional.

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apakah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)? Oleh karena itu, maka makalah ini bertujuan untuk mengetahui Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

  1. B. Pembelajaran Berbasis Kompetensi

Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan memiliki seefektif mungkin. Proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu.

Pembelajaran berbasis kompetensi adalah program pembelajaran dimana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa, system penyampaian, dan indicator pencapaian hasil belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan dimulai (Mc Ashan, dalam Gafur 2001). Dalam pembelajaran berbasis kompetensi perlu ditentukan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa. Sesuai pendapat tersebut, komponen pokok pembelajaran berbasis kompetensi meliputi:

  • kompetensi yang akan dicapai,
  • strategi penyampaian untuk mencapai kompetensi,
  • sistem evaluasi atau penilaian yang digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi.

Kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa perlu dirumuskan dengan jelas dan spesifik. Menurut Mc Ashan (1979), perumusan tersebut hendaknya didasarkan atas prinsip relevansi dan konsistensi antara kompetensi dengan materi yang dipelajari, waktu yang tersedia, dan kegiatan serta lingkungan belajar yang digunakan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mendapatkan perumusan kompetensi yang jelas dan spesifik, antara lain dengan melaksanakan analisis kebutuhan, analisis tugas, analisis kompetensi, penilaian oleh profesi dan pendapat para ahli bidang studi (pakar), pendekatan teoritik, dan telaah buku teks yang relevan dengan materi yang dipelajari (Kaufman dan Bratton, 1992).

Konsep pembelajaran berbasis kompetensi mensyaratkan dirumuskannya secara jelas kompetensi yang harus dimiliki atau ditampilkan siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Dengan adanya tolok ukur pencapaian kompetensi, kegiatan pembelajran siswa akan terhindar dari mempelajari materi yang tidak perlu yaitu materi yang tidak menunjang tercapainya penguasaan kompetensi.

Penerapan konsep dan prinsip pembelajaran berbasis kompetensi diharapkan bermanfaat untuk:

  • Menghindari duplikasi dalam pemberian materi pembalajaran. Dengan menyajikan materi pembelajaran yang benar-benar relevan dengan kompetensi yang ingin dicapai, dapat dihindari terjadinya duplikasi dan pemberian materi pembelajaran yang terlalu banyak.
  • Mengupayakan konsistensi kompetensi yang ingin dicapai dalam mengajarkan suatu mata pelajaran. Dengan kompetensi yang telah ditentukan secara tertulis, siapapun yang mengajarkan mata pelajaran tertentu tidak akan bergeser atau menyimpang dari kompetensi dan materi yang telah ditentukan.
  • Meningkatkan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, kecepatan, dan kesempatan siswa.
  • Membantu mempermudah pelaksaan akreditasi. Pelaksanaan akreditasi akan lebih dipermudah dengan menggunakan tolok ukur standar kompetensi.
  • Memperbaharui system evaluasi dan pelaporan hasil belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis kompetensi, keberhasilan siswa diukur dan dilaporkan berdasar pencapaian kompetensi atau sub-kompetensi tertentu, bukan didasarkan atas perbandingan dengan hasil belajar siswa yang lain.
  • Memperjelas komunikasi dengan siswa tentang tugas kegiatan, atau pengalaman belajar yang harus dilakukan dan cara yang digunakan untuk menentukan keberhasilan belajarnya.
  • Meningkatkan akuntabilitas public. Kompetensi yang telah disusun, divalidasikan, dan dikomunikasikan kepada public, sehingga dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan pembelajaran kepada public.
  • Memperbaiki system sertifikasi. Dengan perumusan kompetensi yang lebih spesifik dan terperinci, sekolah dapat mengeluarkan sertifikat atau transkip yang menyatakan jenis dan aspek kompetensi yang dicapai.
  1. C. Pengembangan Silabus

Secara umum istilah silabus dapat diartikan sebagai “garis besar, ringkasan, ikhtisar, pokok-pokok isi atau materi pembelajaran” (Salim, 1987, h.98). Istilah silabus digunakan untuk menyambut suatu produk pengembangan kurikulum yang berupa penjabaran lebih lanjut dari standar kompetensi, kompetensi dasar yang ingin dicapai, dan pokok-pokok serta uaraian materi yang perlu dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar.

Pengembangan silabus merupakan salah satu tahapan pengembangan kurikulum, khususnya menjawab pertanyaan “Apa yang harus dipelajari?”. Silabus merupakan hasil atau produk kegiatan pengembangan disain pembelajaran. Hasil pengembangan desain pembelajaran selain disebut sebagai silabus juga disebut Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar (PDKBM) atau Garis-Garis Besar Isi Program Pembelajaran (GBIPP). Komponen silabus sebagai salah satu hasil pengembangan kurikulum terdiri dari standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok beserta uraiannya, strategi pembelajaran (tatap muka dan atau pengalaman belajar siswa, alokasi waktu, dan sumber bahan penyusun silabus).

Silabus bermanfaat sebagai pedoman bagi pengembangan pembelajaran lebih lanjut, seperti pembuatan satuan pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan pengembangan system penilaian. Silabus juga bermanfaat sebagai pedoman untuk merencanakan pengelolaan kegiatan pembelajaran, misalnya kegiatan belajar secara klasikal, kelompok kecil, atau pembelajaran secara individual. Demikian pula, silabus sangat bermanfaat untuk mengembangkan system penilaian. Dalam rangka pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi, system penilaian harus mengacu pada standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi yang terdapat di dalam silabus.

  1. D. Prinsip Pengembangan Silabus

Beberapa prinsip yang mendasari pengembangan silabus antara lain; ilmiah, memperhatikan perkembangan dan kebutuhan peserta didik (siswa), sistematis, relevan, konsisten dan cukup (adequate).

Prinsip pertama dalam pengembangan silabus adalah bahwa silabus disusun berdasarkan prinsip ilmiah. Mengingat silabus berisikan garis-garis besar isi atau materi pembelajaran yang akan dipelajari oleh siswa, maka materi pembelajaran yang disajikan dalam silabus harus memenuhi kebenaran ilmiah. Untuk mencapai kebenaran ilmiah tersebut, dalam penyusunan silabus perlu melibatkan pakar/ahli dibidang keilmuan masing-masing mata pelajaran. Hal ini dimaksudkan agar materi pembelajaran yang disajikan dalam silabus sahih (valid).

Prinsip kedua yang melandasi penyusunan silabus adalah perkembangan dan kebutuhan siswa. Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam silabus disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Misalnya materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa kelas satu berbeda dengan materi yang diberikan kepada siswa kelas dua maupun kelas tiga, baik mengenai cakupan dan kedalam, maupun urutan penyajiannya.

Prinsip ketiga yang melandasi penyusunan silabus adalah prinsip sistematis. Oleh karena itu, silabus dianggap sebagai sebuah system. Karena merupakan sebuah system maka penyusunannya harus dilakukan secara sistematis. Sebagai sebuah system, silabus merupakan satu kesatuan yang mempunyai tujuan, yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka mencapai tujuan. Komponen pokok silabus terdiri dari standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pokok. Sejalan dengan pendekatan tersebut, langkah-langkah  sistematis penyusunan silabus secara garis besar dimulai dengan menentukan dan menuliskan standar kompetensi. Setelah standar kompetensi ditentukan, langkah selanjutnya adalah menentukan sejumlah kompetensi dasar dan materi pokok yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi tersebut.

Prinsip keempat dalam penyusunan silabus adalah prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan antara standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, pengalaman belajar siswa, dan sumber bahan.

Prinsip kelima adalah relevan. Relevan berarti ada keterkaitan. Misalnya, jika standar kompetensi yang diharapkan dikuasai siswa berupa “Memahami struktur dan fungsi tubuh hewan sebagai pendukung aktivitas kehidupannya”, maka kompetensi dasar yang relevan dengan standar kompetensi tersebut adalah; (1) mengidentifikasi system organ pada hewan Avertebrata beserta fungsinya, (2) mengidentifikasi system organ pada hewan Vertebrata beserta fungsinya.

Prinsip keenam yaitu konsisten. Konsisten berarti taat azas. Hubungan antara komponen-komponen silabus harus taat azas. Misalnya, hubungan antara kompetensi dasar dengan pengalaman belajar dalam bahasa inggris.  Salah satu materi pokok dalam matapelajaran bahasa inggris adalah Game “Find some one who…”. Pengalaman belajar yang konsisten dengan materi pokok tersebut adalah “Menanyai teman sekelasnya dengan membawa angket untuk menemukan seseorang yang dicari”. Contoh lain tentang konsistensi antara kompetensi dasar dengan pengalaman belajar. Misalnya, kompetensi dasarnya “Membuk-tikan bahwa udara menghantarkan suara”. Pengalaman belajar yang konsisten dengan kompetensi dasar tersebut adalah “Melakukan percobaan, untuk membuktikan bahwa udara mengahantarkan suara”.

Prinsip ketujuh adalah adequate. Adequate berarti cukup atau memadahi. Prinsip adukasi mensyaratkan agar cakupan atau ruang lingkup materi yang dipelajari siswa cukup memadahi untuk menunjang tercapainya penguasaan kompetensi dasar yang pada akhirnya membantu tercapainya standar kompetensi. Sebagai contoh, salah satu kompetensi dasar matapelajaran sains adalah “Menjelaskan struktur keilmuan sains ditinjau dari objek dan persoalannya yang dikaji pada berbagai tingkat organisasi kehidupan”. Materi pembelajaran yang memadahi untuk mencapai standar kompetensi dasar tersebut, meliputi:

  • Objek sains,
  • Tema persoalan sains,
  • Tingkat organisasi kehidupan;
  • Contoh objek dan persoalan sains pada organisasi kehidupan tertentu.
  1. E. Standar Kompetensi Lulusan

Dengan ditetapkannya pendidikan berbasis kompetensi, pertama-tama yang harus dilakukan adalah menentukan standar kompetensi lulusan. Standar kompetensi lulusan berisikan seperangkat kompetensi yang harus dikuasai lulusan yang menggambarkan profil lulusan secara utuh. Standar kompetensi lulusan menggambarkan berbagai aspek kompetensi yang harus dikuasai, baik menyangkut aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

Standar kompetensi lulusan ditentukan berdasarkan visi dan misi lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan. Selain visi dan misi, asumsi berupa proporsi atau pernyataan yang dianggap rasional dapat juga digunakan sebagai acuan dalam penentuan kompetensi lulusan. Misalnya: (1) Perubahan masyarakat yang berlangsung dengan cepat belum diantisipasi oleh program pendidikan, (2) Perkembangan teknologi komunikasi/informasi dewasa ini memungkinkan siswa dapat belajar sesuai dengan kecepatan, kesempatan, media dan tempat yang berbeda-beda. Dalam merumuskan standar kompetensi lulusan hendaknya dipertimbangkan juga berbagai sumber.

Sumber-sumber yang dapat digunakan untuk merumuskan standar kompetensi lulusan, antara lain; (a) materi kurikulum/pembelajaran, dan buku teks, (b) analisis taksonomi hasil belajar (kompetensi kognitif, afektif, keterampilan psikomotor, produk, eksploratori/ekspresif), (c) masukan dari kalangan profesi, (d) masukan dari masyarakat pengguna, dan (e) hasil analisis tugas (Hall & Jones: 1976:42).

Acauan untuk merumuskan standar kompetensi lulusan dapat berupa landasan yuridis yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan persyaratan yang ditentukan oleh pengguna lulusan atau dunia kerja. Secara yuridis, kompetensi lulusan dapat dijabarkan dari perumusan tujuan pendidikan yang terdapat di dalam UUD, GBHN, atau Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (USPN). Tujuan pendidikan nasional menurut pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 adalah “…untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Adapun tujuan pendidikan nasional menurut GBHN 1995-2005 adalah “Membentuk manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Ynag Maha Esa, berakhlaq mulia, demokratis, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantab, mandiri dan kreatif, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas dan berdaya saing di era global”.

Untuk merumuskan aspek-aspek kompetensi secara rinci dapat dapat dianalisis berdasarkan taksonomi tertentu:

Bloom, dkk. (1956:17) menganalisis kompetensi berdasarkan taksonominya menjadi tiga aspek/ranah, masing-masing dengan tingkatan secara berjenjang sebagai berikut:

  • Kompetensi pada aspek/ranah kognitif (kecerdasan), meliputi tingkatan pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
  • Kompetensi pada aspek/ranah psikomotor (gerak), meliputi ketrampilan meniru, memanipulasi, ketepatan gerakan, artikulasi, dan naturalisasi.
  • Kompetensi pada aspek/ranah afektif (perasaan), meliputi pengenalan, pemberian respon, penghargaan terhadap nilai, pengorganisasian, dan internalisasi.

Sedangkan Hall & Jones (1976:48) membagi kompetensi menjadi 5 macam, yaitu:

  • Kompetensi kognitif, yang mencakup pengetahuan, pemahaman dan perhatian.
  • Kompetensi afektif, yang menyangkut nilai, sikap, minat dan apresiasi.
  • Kompetensi penampilan yang menyangkut demonstrasi keterampilan fisik atau psikomotorik.
  • Kompetensi produk atau konsekuensi, yang menyangkut keterampilan melakukan perubahan terhadap pihak lain.
  • Kompetensi eksploratif atau ekspresif, menyangkut pemberian pengalaman yang mempunyai nilai kegunaan di masa depan, sebagai hal pengiring yang positif.

Sehubungan dengan kompetensi yang dijabarkan dari tujuan pendidikan nasional, ada dua butir kompetensi yang perlu mendapat perhatian, yaitu kecakapan hidup (life skill) dan keterampilan sikap.

Kecakapan hidup merupakan kecakapan untuk memecahkan masalah secara inovatif dengan menggunakan fakta, konsep, prinsip, atau prosedur yang telah dipelajari. Pemecahan masalah tersebut dapat berupa proses maupun produk yang bermanfaat untuk mempertahankan, meningkatkan atau memperbaharui hidup dan kehidupan siswa. Kecakapan hidup tersebut diharapkan dapat dicapai melalui berbagai pengalaman belajar siswa. Dari berbagai pengalaman mempelajari berbagai matapelajaran, diharapkan siswa memperoleh hasil sampingan yang posistif berupa upaya memanfaatkan pengetahuan, konsep, prinsip, dan prosedur untuk memecahkan masalah baru dalam bentuk keakapan hidup. Di samping itu, kecakapan hidup tersebut hendaknya diupayakan pencapaiannya dengan mengintegrasikannya pada topic dan pengalaman belajar yang relavan.

Seseorang tinggal disebuah tempat yang terletak di tepian sungai. Di sekolah dia telah mendapatkan pembelajaran tentang dynamo pembangkit listrik dan sifat-sifat arus yang antara lain dapat menggerakkan turbin atau baling-baling. Siswa tersebut kemudian memanfaatkan air sungai untuk menggerakkan baling-baling yang dihubungkan dengan dynamo yang digantungkan dipermukaan air di tengah sungai, sehingga diperoleh aliran listrik yang dapat digunakan untuk penerangan. Contoh lain, siswa yang telah mempelajari bejana berhubungan dan sifat-sifat air yang tidak menghantarkan udara, lalu menciptakan “leher angsa” dari bahan tanah liat untuk penahan bau dalam pembuatan WC, dapat membuat alat untuk menyiram tanaman hias yang digantung, dan lain sebagainya. Selain kecakapan yang bersifat teknis, kecakapan hidup mencakup juga kecakapan social (social skill), misalnya kecakapan mangadakan negoisasi, kecakapan memilih dan mengambil posisi diri, kecakapan mengelola konflik, kecakapan mengadakan hubungan antar pribadi, kecakapan memecahkan masalah, kecakapan mengambil keputusan secara sistematis, kecakapan bekerja dalam sebuah tim, kecakapan berorganisasi, dan lain sebagainya.

Keterampilan sikap (afektif) mencakup dua hal. Pertama, sikap yang berkenaan dengan nilai, moral, tatasusila, baik, buruk, demokratis, terbuka, dermawan, jujur, teliti, dan lain sebagainya. Kedua, sikap terhadap materi dan kegiatan pembelajaran, seperti menyukai, menyenangi, memandang positif, menaruh minat, dan lain sebagainya. Mengingat sulitnya merumuskan, mengajarkan dan mengevaluasi aspek afektif, seringkali kompetensi afektif tersebut tidak dimasukkan dalam program pembelajaran. Sama halnya dengan kecakapan hidup, kompetensi afektif hendaknya diupayakan pencapaiannya melalui pengintegrasian dengan topic-topik dan pengalaman belajar yang relevan.

Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, kurikulum disusun untuk memberi pengalaman belajar kepada peserta didik yang tepat agar potensi mereka dapat berkembang secara optimal untuk mencapai kompetensis tamatan secara utuh. Kompetensi ini terdiri dari kemampuan akademik, kemampuan emosional, kemampuan spiritual, kecakapan hidup, ketrampilan motorik, kepribadian kuat yang mencakup moral, sikap social, rasa percaya diri, semangat bekerja sama, kebiasaan hidup sehat, menghargai perbedaan, dan apresiasi estetika terhadap dunia sekitar. Dengan kata lain, kurikulum diharapkan dapat membantu pengembangan kemampuan etika, estetika, logika, dan kinestetika, serta kemampuan religiusitas/spiritualitas secara harmonis. Kurikulum pada hakekatnya merupakan masukan instrumental yang membantu peserta didik agar dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan potensinya agar menjadi warga Negara yang bertanggung jawab.

Berdasarkan rumusan di atas, kompetensi tamatan dapat dikelompokkan menjadi kompetensi yang berkenaan dengan aspek moral keagamaan, kemanusiaan (humaniora), komunikasi, estetika, serta ilmu dan teknologi. Berdasarkan profil kompetensi lulusan tersebut selanjutnya dijabarkanlah sejumlah mata pelajaran yang relevan yang diperlukan untuk mencapai kebulatan kompetensi dimaksud.

  1. F. Standar Kompetensi Mata Pelajaran

Standar kompetensi mata pelajaran dapat didefinisikan sebagai “pernyataan tentang pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang harus dikuasai siswa serta tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu matapelajaran” (Center for Civics Education, 1997:2). Standar kompetensi merupakan kerangka yang menjelaskan dasar pengembangan program pembelajaran yang terstruktur. Standar kompetensi mata pelajaran juga merupakan focus dari penelitian, sehingga proses pengembangan kurikulum adalah focus dari penilaian, meskipun kurikulum lebih banyak berisi tentang dokumen pengetahuan, keterampilan dan sikap daripada bukti-bukti untuk menunjukkan bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal.

Dengan demikian standar kompetensi matapelajaran diartikan sebagai kemampuan siswa dalam:

  • Melakukan suatu tugas atau pekerjaan berkaitan dengan matapelajaran tertentu.
  • Mengorganisasikan tindakan agar pekerjaan dalam matapelajaran tertentu dapat dilaksanakan.
  • Melakukan reaksi yang tepat bila terjadi penyimpangan dari rangcangan semula.
  • Melaksanakan tugas dan pekerjaan berkaitan dengan matapelajaran dalam situasi dan kondisi yang berbeda.

Penyusunan standar kompetensi suatu jenjang atau tingkat pendidikan merupakan usaha untuk membuat suatu system sekolah menjadi otonom, mandiri dan responsive terhadap keputusan kebijakan daerah maupun nasional. Kegiatan ini diharapkan mendorong munculnya standar pada tingkat local dan nasional. Penentuan standar kompetensi hendaknya dilakukan dengan cemat dan hati-hati, karena jika setiap sekolah atau setiap kelompok sekolah mengembangkan standar kompetensi sendiri tanpa memperhatikan standar nasional, maka pemerintah pusat akan kehilangan system untuk mengontrol mutu sekolah. Akibatnya mutu sekolah akan bervariasi, dan tidak dapat dibandingkan antara kualitas sekolah yang satu dengan kualitas sekolah yang lain. Lebih jauh lagi, kualitas sekolah antar wilayah yang satu dengan wilayah yang lain tidak dapat dibandingkan dengan kualitas sekolah dari Negara lain. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan perlu menganalisis dan menetapkan standar kompetensi yang bersifat nasional.

Pengembangan standar kompetensi perlu dilakukan secara terbuka, seimbang dan melibatkan semua kelompok yang akan dikenai standar kompetensi tersebut. Melibatkan semua kelompok sangatlah penting agar kesepakatan yang telah dicapai dapat dilaksanakan secara bertanggung jawab oleh pihak sekolah masing-masing. Di samping itu kajian standar kompetensi di Negara-negara lain perlu juga dilakukan sebagai bahan rujukan agar lulusan kita tidak jauh ketinggalan dengan lulusan Negara lain. Standar kompetensi yang telah ditetapkan berlaku secara nasional, namun cara mencapai standar tersebut diserahkan pada kreasi masing-masing wilayah.

Perlu diingat kembali, bahwa kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dapat didemonstrasikan, ditunjukkan atau ditampilkan oleh siswa sebagai hasil belajar. Sesuai dengan pengertian kompetensi tersebut, maka standar kompetensi adalah standar kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa untuk menunjukkan bahwa hasil mempelajari bidang studi atau matapelajaran tertentu berupa penguasaan atas pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu telah dicapai.

Dalam keadaan dimana standar kompetensi dalam mempelajari mata pelajaran tertentu belum tersedia karena mata pelajaran yang harus dikembangkan baru sama sekali, maka pengembang silabus perlu merumuskan standar kompetensi tersebut. Sebaliknya, dalam keadaan dimana standar kompetensi telah tersedia namun belum ditentukan urutan sebarannya, maka tugas pengembang silabus adalah menentukan sebaran dan urutan standar kompetensi dalam kelas, semester atau catur wulan. Sebagai contoh, standar kompetensi siswa MTs dalam mempelajari bahasa inggris meliputi: (a) spoken skills atau keterampilan berbicara (mendengar, berbicara), dan (b) written skills atau keterampilan menulis (membaca, menulis). Terhadap kompetensi tersebut, pengembang silabus perlu menentukan urutan serta penyebarannya dalam kelas dan semester, mulai dari kelas atau semester pertama sampai dengan kelas atau semester terakhir.

Langkah-langkah merinci dan mengurutkan beberapa standar kompetensi adalah sebagai berikut:

  • Melaksanakan analisis standar kompetensi. Menganalisis berarti merinci. Suatu standar kompetensi dapat dianalisis atau dirinci menjadi beberapa sub-kompetensi atau kompetensi dasar.
  • Mengurutkan rincian standar kompetensi. Setelah mendapatkan perincian standar kompetensi, tugas berikutnya adalah mengurutkan beberapa sub-kompetensi atau kompetensi dasar tersebut.

Dick & Carey (1978:25) membedakan dua perbedaan pokok dalam analisis dan urutan standar kompetensi di samping pendekatan yang ketiga yakni gabungan antara kedua pendekatan pokok tersebut. Dua pendekatan yang dimaksud adalah pertama pendekatan procedural, dan kedua pendekatan hierarkis (berjenjang). Sedangkan gabungan antara kedua pendekatan tersebut dinamakan pendekatan kombinasi.

  1. 1. Pendekatan procedural

Pendekatan procedural (procedural approach) dipakai bila standar kompetensi yang diajarkan berupa serangkaian langkah-langkah secara urut dalam mengerjakan suatu tugas pembelajaran. Dalam bentuk diagram, pendekatan procedural ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Diagram 1

Pendekatan Prosedural

Contoh dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) ada beberapa standar kompetensi yang diharapkan dapat dipelajari secara berurutan. Guru diharapkan dapat menyajikan mana yang akan didahulukan. Misalnya kompetensi; (1) Mengidentifikasi landasan hokum Islam yang digunakan dalam pelaksaan suatu ibadah, (2) Mendeskripsikan kegiatan yang dilakukan dalam melaksanaka suatu ibadah, dan (3) Mendeskripsikan manfaat suatu ibadah kepada masyarakat. Ketiga komponen tersebut dilihat dari logika berpikir kompetensi untuk mengidentifikasikan konsep-konsep yang membangun PAI harus paling dulu dipelajari, setelah itu baru kompetensi berikutnya. Di antara kedua komponen berikutnya, pengusaan terhadap kompetensi mendeskripsikan tatacara melakuakan suatu ibadah lebih didahulukan agar siswa dengan mudah mendeskripsikan manfaat suatu ibadah, mengingat pelaksanaan ibadah akan lebih dapat disenangi dan dihayati apabila mengetahui manfaat suatu ibadah yang dilakukan. Bila disajikan dalam bentuk diagram dapat dilihat pada diagram 2 berikut:

Diagram 2

Pendekatan Prosedural

Beberapa hal yang perlu dicatat dari contoh tersebut:

  • Siswa harus menguasai standar kompetensi tersebut secara berurutan.
  • Masing-masing standar kompetensi dapat diajarkan secara terpisah (independent).
  • Hasil (output) dari setiap langkah merupakan masukan (input) untuk langkah berikutnya.
  1. 2. Pendekatan hierarkis

Pendekatan hierarkis menunjukkan hubungan yang bersifat subordinat/berjenjang antara beberapa standar kompetensi yang ingin dicapai. Dengan demikian ada yang mendahului dan ada yang kemudian. Standar kompetensi yang mendahului merupakan prasyarat bagi standar kompetensi yang berikutnya.

Untuk mengidentifikasi beberapa standar kompetensi yang harus dipelajari terlebih dahulu agar siswa dapat mencapai standar kompetensi yang lebih tinggi dilakukan dengan jalan mengajukan pertanyaan “Apakah yang harus sudah dikuasai siswa, agar dengan pembelajaran yang seminimal mungkin dapat dikuasi standar kompetensi berikutnya?”.

Untuk memperjelas, berikut disajikan model analisis standar kompetensi menurut pendekatan hierarkis dalam matapelajaran matematika.

Diagram 3

Pendekatan Hierarkis

  1. G. Kompetensi Dasar

Untuk keperluan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran, standar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai dalam mempelajari setiap bidang studi, selanjutnya diuaraikan atau dijabarkan menjadi sejumlah kompetensi minimum atau kompetensi dasar. Untuk keperluan pembelajaran kompetensi dasar digunakan sebagai acuan atau materi pembelajaran. Sedangkan untuk keperluan system penilaian, kompetensi dasar tadi kemudian dikembangkan menjadi sebuah indicator untuk menetukan soal ujian.

Dalam hubungannya dengan standar kompetensi, kompetensi dasar menjawab pertanyaan “Kompetensi-kompetensi minimal apa saja yang harus dikuasai, agar siswa mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan?”. Sebagai contoh, salah satu standar kompetensi dalam matapelajaran Bahasa Inggris MTs. Adalah “Spoken skills” (keterampilan lisan).

Kompetensi-kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa untuk mencapai standar kompetensi tersebut adalah (1) Recognizing English stress paterns; (2) Discriminating English intonation and tones; (3) Demonstrating knowledge of basic vocabulary in aural texts as determined by a specified word list; (4) Demon-strating aural skills in comprehending a variety of aural texts.

  1. H. Format Silabus

Silabus sebagai su-sistem pembelajaran terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka mencapai tujuan. Komponen silabus antara lain terdiri dari: identifikasi nama mata pelajaran, jenjang sekolah, kelas, semester, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok dan urainnya, alternative strategi pembelajaran (tatap muka atau pengalaman belajar siswa), alokasi waktu, dan sumber bahan/acuan/rujukan.

Komponen-komponen tersebut perlu disusun dalam bentuk format dan sistematika yang jelas. Format berisikan bentuk penyajian isi silabus, sedangkan sistematika menggambarkan urutan penyajian bagian-bagian silabus. Format dan sistematika silabus disusun berdasarkan prinsip berorientasi pada pencapaian kompetensi (competency oriented).

Sesuai prinsip yang berorientasi pada pencapaian kompetensi tersebut format penyajian silabus diwujudkan dalam bentuk matrik agar hubungan antar komponen dapat dilihat dengan jelas. Sesuai pula dengan prinsip yang berorientasi pada pencapaian kompetensi, setelah jenjang sekolah, mata pelajaran, kelas, semester diidentifikasi, maka sistematika penyajian silabus meliputi standar kompetensi, kompetensi dasar yang ingin dicapai, materi pokok serta uraian atau rinciannya, strategi pembelajaran, alokasi waktu yang dibutuhkan, dan sumber bahan/acuan/rujukan yang dipakai.

  1. I. Struktur Organisasi dan Tatalaksana Tim Pengembangan Silabus

Kegiatan pengembangan silabus memerlukan keahlian, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Agar silabus dapat tersusun dengan baik, diperlukan tim kerja yang memadai. Tim pengembang silabus perlu memiliki beberapa kapabilitas, seperti: ahli materi pembelajaran, ahli desain pembalajaran, ahli evaluasi, ahli administrasi, ahli implementasi, adan sebagainya. Selanjutnya perlu ditentukan pengelolaan tim tersebut, baik pengelolaan organisasi maupun pengelolaan personalia.

Sesuai dengan semangat otonomi daerah dan kebijakan Depdiknas, maka struktur organisasi dan tatalaksana pengembangan silabus hendaknya menggambarkan bahwa Pusat berperan menentukan kebijakan kurikulum secara nasional. Sedangkan daerah dan sekolah memiliki kewenangan mengembangkan silabus (yang memuat: standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, pengalaman belajar, alokasi waktu dan sumber bahan), Satuan Pembelajaran (SP) serta Bahan Ajar.

  1. J. Penutup

Pembelajaran berbasis kompetensi adalah program pembelajaran dimana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa, system penyampaian, dan indicator pencapaian hasil belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan dimulai (Mc Ashan, dalam Gafur 2001). Dalam pembelajaran berbasis kompetensi perlu ditentukan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa. Sesuai pendapat tersebut, komponen pokok pembelajaran berbasis kompetensi meliputi:

  • kompetensi yang akan dicapai,
  • strategi penyampaian untuk mencapai kompetensi,
  • sistem evaluasi atau penilaian yang digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi.

Pengembangan standar kompetensi perlu dilakukan secara terbuka, seimbang dan melibatkan semua kelompok yang akan dikenai standar kompetensi tersebut. Melibatkan semua kelompok sangatlah penting agar kesepakatan yang telah dicapai dapat dilaksanakan secara bertanggung jawab oleh pihak sekolah masing-masing. Di samping itu kajian standar kompetensi di Negara-negara lain perlu juga dilakukan sebagai bahan rujukan agar lulusan kita tidak jauh ketinggalan dengan lulusan Negara lain. Standar kompetensi yang telah ditetapkan berlaku secara nasional, namun cara mencapai standar tersebut diserahkan pada kreasi masing-masing wilayah.

===== 000 =====

REFERENSI

Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

A.  Pendahuluan

Pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan yang semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Penerapan desentralisasi pengelolaan pendidikan adalah dengan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk menyusun kurikulum. Hal itu juga mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional serta Pasal 35 tentang standar nasional pendidikan. Selain itu, juga adanya tuntutan globalisasi dalam bidang pendidikan yang memacu keberhasilan pendidikan nasional agar dapat bersaing dengan hasil pendidikan negara-negara maju.

Desentralisasi pengelolaan pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan kondisi daerah perlu segera dilaksanakan. Bukti nyata dari desentralisasi pengelolaan pendidikan ini adalah diberikannya kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan, seperti dalam pengelolaan kurikulum, baik dalam penyusunannya maupun pelaksanaannya di sekolah.

Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik. Oleh sebab itu, kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, standar kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.

Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) belajar untuk memahami dan menghayati; (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain; dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Kewenangan sekolah dalam menyusun kurikulum memungkinkan sekolah menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Dengan demikian, daerah dan/atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang diajarkan, pengelolaan pengalaman belajar, cara mengajar, dan menilai keberhasilan belajar mengajar.

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apakah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)? Oleh karena itu, maka makalah ini bertujuan untuk mengetahui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

B. Prinsip Pengembangan Kurikulum

KTSP dikembangkan dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kom­petensi Lulusan (SKL), berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP.

Prinsip Pengembangan Kurikulum:

  • Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
  • Beragam dan terpadu
  • Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
  • Relevan dengan kebutuhan kehidupan
  • Menyeluruh dan berkesinambungan
  • Belajar sepanjang hayat
  • Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Dalam pelaksanaannya, kurikulum dilaksanakan dengan prinsip sebagai berikut:

  • Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan, dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini, peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan.
  • Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu:

ü  belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

ü  belajar untuk memahami dan menghayati,

ü  belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif

ü  belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain

ü  belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pem­belajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan

  • Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memerhatikan keter­paduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ketuhanan, ke­individuan, kesosialan, dan moral
  • Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip ing ngarsa sung tulada, ing madia mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberikan contoh dan teladan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di belakang memberikan daya dan kekuatan).
  • Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar dengan prinsip alam takambang jadi guru (semua yang terjadi, tergelar, dan berkembang di masyarakat, lingkungan sekitar, serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh, dan teladan).
  • Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial, dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
  • Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan

C. Struktur dan Muatan Kurikulum

1. Mata Pelajaran

Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

2. Muatan Lokal

Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh sekolah. Sekolah dapat menyelenggara­kan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester atau dua mata pelajaran muatan lokal dalam satu tahun.

  1. 3. Pengembangan Diri

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengem­bangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik.

  1. 4. Ketuntasan Belajar

Ketuntasan belajar setiap indikator yang dikembangkan sebagai suatu pencapaian hasil belajar dari suatu kompetensi dasar berkisar antara 0–100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75 %. Sekolah harus menentukan kriteria ketuntasan minimal sebagai target pencapaian kompetensi (TPK) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Sekolah secara bertahap dan berkelanjutan selalu mengusahakan peningkatan kriteria ketuntasan belajar untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal.

D. Kalender Akademik

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada setiap jenjang diselengga­rakan dengan mengikuti kelender pendidikan pada setiap tahun ajaran. Kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun pengajaran yang mencakup permulaan tahun pelajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif, dan hari libur. Waktu pembelajaran efektif adalah jumlah jam pelajaran setiap minggu, meliputi jumlah jam pelajaran untuk seluruh mata pelajaran termasuk muatan lokal ditambah jumlah jam untuk kegiatan pengembangan diri.

Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun pelajaran. Sekolah/madrasah dapat mengalokasikan lamanya minggu efektif belajar sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Waktu libur adalah waktu yang ditetapkan untuk tidak diadakan kegiatan pembelajaran terjadwal pada satuan pendidikan yang dimaksud. Waktu  libur dapat berbentuk jeda tengah semester, jeda antarsemester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur keagamaan, hari libur umum termasuk hari-hari besar nasional, dan hari libur khusus.

Hari libur sekolah/madrasah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan/atau Keputusan Menteri Agama dalam hal yang terkait dengan hari raya keagamaan. Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota dan/atau organisasi penyelenggara pendidikan dapat menetapkan hari libur khusus. Sekolah/madrasah atau sekolah pada daerah tertentu yang memerlukan libur keagamaan lebih panjang dapat mengatur hari libur keagamaan sendiri tanpa me­ngurangi jumlah minggu efektif belajar dan waktu pembelajaran efektif. Bagi sekolah/madrasah yang memerlukan kegiatan khusus dapat mengalokasikan waktu secara khusus tanpa mengurangi jumlah minggu efektif dan waktu pembelajaran efektif.

Hari libur umum/nasional atau penetapan libur serentak untuk jenjang dan jenis pendidikan disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Pusat/Provinsi/Kabupaten/ Kota. Permulaan tahun pelajaran adalah waktu dimulainya kegiatan pembelajaran pada awal tahun pelajaran pada setiap satuan pendidikan.

E. Penutup

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, standar kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.

Prinsip Pengembangan Kurikulum:

  • Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
  • Beragam dan terpadu
  • Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
  • Relevan dengan kebutuhan kehidupan
  • Menyeluruh dan berkesinambungan
  • Belajar sepanjang hayat
  • Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

===== 000 =====

REFERENSI

Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

DEFINISI DAN PERANAN EVALUASI KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

A.  Pendahuluan

Pada dasarnya kurikulum ditentukan oleh guru (tenaga kependidikan). Guru turut serta menyusun kurikulum, duduk dalam suatu panitia pengembang kurikulum atau memberikan masukan kepada panitia pengembang kurikulum. Prosedur apapun yang ditempuh dalam pengembangan kurikulum, guru tetap memgang peranan penting, karena guru merupakan unsure penting yang menentukan berhasil atau gagalnya pelaksanaan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan (sekolah). Guru terlibat langsung secara aktif dalam pelaksanaan kurikulum bersama para siswa. Guru yang menentukan topic pengajaran, bahan-bahan yang diajarkan, metode yang digunakan, alat yang dipilh dan dipergunakan, serta mengevaluasi hasil pelaksanaan kurikulum.

Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya. Tulisan ini akan membahas mengenai pengertian evaluasi kurikulum, pentingnya evaluasi kurikulum dan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan  evaluasi kurikulum.

Pengertian Evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan. Evaluasi adalah suatu proses pengumpulan bukti-bukti dan membuat penilaian apakah suatu kompetensi telah dicapai. Evaluasi juga dimaksudkan apakah siswa dapat melaksanakan suatu pekarjaan yang telah ditetapkan sesuai dengan standart kemampuan yang ditetapkan. Evaluasi menekankan pada usaha mencari jalan untuk perbaikan program atau kurikulum dari pada sekedar pengukuran prestasi anak didik saja.

Evaluasi pada dasarnya adalah penyediaan informasi untuk memperlancar proses pengambilan keputusan pada beberapa tingkat pengembangan kurikulum.Informasi ini mungkin berguna bagi program pengajaran secara keseluruhan itu hanya bermanfaat untuk beberapa komponen program itu.Evaluasi juga berarti seleksi kriteria, koleksi data dan analisis data.

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apakah definisi/pengertin evaluasi kurikulum dan peranan evaluasi kurikulum? Oleh karena itu, maka makalah ini bertujuan untuk mengetahui definisi/pengertian evaluasi kurikulum dan peranan evaluasi kurikulum.

B.  Pengertian Evaluasi

Secara etimologis kata evaluasi berasal dari bahasa inggris evaluation yang berarti penilaian terhadap sesuatu. Witherington secara singkat merumuskan bahwa “An evolution is declaration that something has or does not have value.” Berdasarkan kutipan itu maka jelaslah bahwa mengevaluasi berarti emberi nilai, menetapkan apakah sesuatu bernilai atau tidak bernilai.

Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Untuk dapat menentukan nilai dari sesuatu yang sedang dinilai itu, dilakukanlah pengukuran dan wujud dari pengukuran itu adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam dunia kependidikan dikenal dengan istilah tes.

Ada 3 (tiga) istilah yang hampir sama pengertiannya dengan svaluasi, sama berarti menilai, yaitu tes, measurement (pengukuran), dan evaluasi. Tes/ testing artinya yang umum adalah menggunakan tes. Itu dapat berupa mengetes kekuatan suatu benda. Dapat juga berarti mengetes kecerdasan seseorang. Measurement biasanya berarti penilaian yang sifatnya lebih luas daripada instrument yang digunakan dalam testing, begitu pula mengenai interpretasi hasil pengukuran. Adapun evaluasi mengandung pengertian lebih luas daripada istilah measurement. Evaluasi menggunakan instrument yang lebih banyak daripada measurement, menggunakan data kuantitatif dan kualitatif, memerlukan waktu yang lebih panjang dalam pelaksanaannya.

Secara umum evaluasi dapat membantu memperhitungkan potensi murid dalam belajar. Evaluasi dapat memberikan informasi paling akurat mengenai kemampuan akademik siswa. Evaluasi dapat juga menunjukkan bagaimana murid tumbuh, karena itu evaluasi dapat meningkatkan efektivitas pengajaran., dengan evaluasi kita dapat melokalisasi kesulitan-kesulitan siswa dalam belajar. Evaluasi dapat pula dijadikan bahan dalam membimbing kecerdasan murid dalam memilih bidang keilmuan atau bidang pekerjaan. Pada umumnya evaluasi berguna dalam menentukan kedudukan dan kemajuan siswa. (Braron, 1985:6).

Di sekolah evaluasi terutama digunakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan pengajaran dapat dicapai, bahkan berguna pula untuk menjernihkan hipotesis-hipotesis tentang kurikulum yang digunakan, juga bagi kegiatan bimbingan dan penyuluhan. (Ausubel, 1969: 573-576).

Mungkin saja guru diberi kesempatan untuk turut serta melakukan evaluasi secara kontinu dan melakukan usaha perbaikan/reorganisasi terhadap kurikulum sekolah. Dikatakan mungkin, oleh sebab sampai sekarag kurikulum sekolah telah ditetapkan oleh pemerintah pusat (Departemen Pendidikan Nasional), hanya sekolah-sekolah swasta dapat melakukan penyusunan atau penyempurnaan kurikulumnya berdasarkan usaha penyesuaian yang berpedoman pada kurikulum yang telah ditetapkan.

Jika guru diberikan kesempatan turut serta maka prinsip-prinsip di bawah ini dapat dijadikan petunujk yang berguna, yaitu :

  • Perbaikan kurikulum bergantung pada pertumbuhan guru.
  • Perubahan-perubahan di dalam kurikulum berdasarkan atas penelitian perencanaan dan organisasi.
  • Apabila suatu evaluasi kurikulum menunjukkan bahwa perubaha-perubahan tertentu terhadap kurikulum akan dilakukan maka perlu disusun suatu program revisi kurikulum.
  • Sekolah menjadi pusat perencanaan
  • Orang-orang yang mengerti dan mengetahui tentang siswa-siswa harus diikutsertkan dalam perencanaan kurikulum.
  • Para administrator, guru-guru, orang tua, orang luar dan siswa-siswa hendaknya diikutsertakan dalam perencanaan kurikulum.

Pelaksanaan evaluasi, revisi dan perbaikan kurikulum perlu memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Perencanaan evaluasi, revisi dan perbaikan disusun berdasarkan kebutuhan yang mendesak sifatnya, misalnya terjadi perubahan-perubahan fundamental dalam masyarakat.
  • Semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan sebaiknya turut berperan serta dalam organisasi pengembangan kurikulum.
  • Pola organisasinya adalah dengan cara mengundang seorang ahli di bidang pengembangan kurikulum atau dengan cara membentuk suatu badan khusus pengembang kurikulum (dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan tertentu).
  • pembentukkan suatu panitia kerja yang bertugas melakukan penelitian, penilaian, koordinasi dan meyiapkan bahan-bahan gun perbaikan kurikulum.
  • Kurikulum yang baru hasil perbaikan supaya diperkenalkan/ dijelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan agar mereka memahaminya dan dapat melaksanakannya sebgaimana mestinya.

Evaluasi adalah suatu proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai (assess) keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang suatu system pengajaran. Rumusan itu mempunyai 3 implikasi, yaitu sebagai berikut:

  • Evaluasi adalah suatu proses yang terus menerus, bukan hanya pada akhir pengajaran, tetapi dimulai sebelum dilaksanakannya pengajaran sampai dengan beerakhirnya pengajaran.
  • Proses evaluasi senantiasa diarahkan ke tujuan tertentu, yakni untuk mendapatkan jawaban-jawaban tentang bagaimana memperbaiki pengajaran.
  • Evaluasi menuntut penggunaan alat-alat ukur yang akurat dan bermakna untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan guan membuat keputusan.

Dengan demikian, evaluasi merupakan proses yang berkenaan dengan pengumpulan informasi yang memungkinkan kita menentukan tingkat kemajuan pengajaran dan bagaimana berbuat baik pada waktu-waktu mendatang.

C. Implementasi dan Evaluasi Kurikulum

Konsep kurikulum yang menekankan isi, memberikan peranan besar pada analisis pengetahuan baru yang ada, konsep penilaian menutut penilaian secara rinci tentang lingkungan belajar,dan konsep organisasi memberi perhatian besar pada struktur belajar. Pengembangan kurikulum yang menekankan isi membutuhkan waktu mempersiapakan situasi belajar dan menyatukannya dengan tujuan pengajaran yang cukup lama.kurikulum yang menekankan pada situasi waktu untuk mempersiapkannya lebih pendek,sedangkan kurikulum yang menekankan pada organisasi waktu persiapannya hampir sama dengan kurikulum yang menekankan pada isi,kurikulum yang menekankan organisasi,strategi penyebarannya sangat mengutamakan latihan guru.

Model evaluasi kaitnya dengan teori kurikulum perbedaan konsep dan strategi pengembangan dan penyebaran kurikulumnya ,juga menimbulkan perbedaan dalam rancangan evaluasi ,model evaluasi yang bersifat komporatif atau menekankan pada objek sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan menekankan isi,dalam kurikulum menekankan situasi sukar disusun evaluasi yang bersifat kompratif karena konteksnya bukan terhadap guru atau satu tujuan tetapi terdapat banyak tujuan.

Pada kurikulum yang menekankan organisasi,tugas evaluasi lebih sulit lagi,karena isi dan hasil kurikulum bukan hal yang utama,yang utama adalah aktivitas dan kemampuan siswa salah satu pemecahan bagi masalah ini dengan pendekatan yang bersifat elektrik seprti dalam proyek kurikulum humanistik dan care ( center for applied research in education ) dalam proyek itu dicari perbandingan materi antara proyek yang menggunakan guru yang terlatih dengan yang tidak terlatih ,dalam evaluasinya juga diteliti pengaruh umum dari proyek,dengan cara mengumpulkan bahan-bahan secara studi kasus dari sekolah-sekolah proyek.

Teori kurikilim dan teori evaluasi,model evaluasi kurikulum berkaitan erat dengan konsep kurikulum yang digunakan,seperti model pengembangan dan penyebaran dihasilkan oleh kurikulum yang menekankan isi.

Macam-macam model evaluasi yang dipergunkan bertumpu pada aspek -aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum.model evaluasi yang bersifat kompratif berkaitan erat dengan tingkah-tingkah laku individu,evaluasi yang menekakan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajar atau isi kurikulum model ( pendekatan ) antropologis dalam evaluasi ditujukan untuk mengevaluasi tingkah-tingkah laku dalam suatu lembaga sosial,dengan demikian sesungguhnya terdpat hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum.

D. Peranan Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum dapat dilihat sebagai proses sosial dan sebagai institusi sosial mempunyai asal usul,sejarah struktur serta intersef sendiri,beberapa karakteristik dari proyek-proyek kurikulumyang telah dikembangkan di inggris,umpamanya :

  • Lebih berkenaan dengan inovasi daripada dengan kurikulum yang ada
  • Lebih berskala nasional daripada lokal
  • Di biyayai oleh grant dari luar yang berjangka pendek daripada oleh anggaran tetap
  • Lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan penelitian yang bersifat psikometris daripada kebiasaan lamayang berupa penelitian social.

peranan evaluasi kebijaksanaan dalam kurikulum khususnya pendidikan umumnya minimal berkenaan dengan 3 (tiga) hal yaitu :

  • evaluasi sebagai moral judgement,konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai,hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya hal ini mengandung 2 pengertian 1,evaluasi berisi suatu skala nilai moral,berdasarkan skala tersebut suatu objek evaluasi dapat dinilai 2,evaluasi berisi suatu perangkat kriteria praktis berdasarkan kriteria-kriteria suatu hasil dapat dinilai
  • evaluasi dan penentuan keputusan,pengambilan keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulumbanyak yaitu:guru,murid,orang tua,kepala sekolah,para inspektur,pengembangan kurikulum dll,beberapa diantara mereka yang memegang peranan paling besar dalam penetuan keputusan.pada prinsipnya tiap individu diatas membuat keputusansesuai dengan posisinya.
  • evaluasi dan konsesus nilai dalam berbagai situasi pendidkan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang ikut terlibat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi,para partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri dari :orang tua,murid,guru,pengembang kurikulum,administrator,ahli politik,ahli ekonomi,penerbit,arsitek dsb.bagaimana caranya agar dapat diantara mereka terdapat kesatuan penilaian hanya dapat di capai melalui suatu consensus.
  • secara historis konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal tradisi tes mental serta eksperimen

E. Pentingnya Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum dapat menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi  kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber daya, yang mana informasi ini sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan  apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka  penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yang berubah.

Evaluasi kurikulum dapat menyajikan bahan informasi mengenai area – area kelemahan kurikulum sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi ini dikenal dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu proses berjalan. Evaluasi kurikulum juga dapat  menilai kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut masih tetap dilaksanakan atau tidak, yang dikenal evaluasi sumatif.

  1. F. Masalah dalam Evaluasi Kurikulum

Norman dan Schmidt 2002 mengemukakan ada beberapa kesulitan dalam penerapan evaluasi kurikulum , yaitu :

  • Kesulitan dalam pengukuran
  • Kesulitan dalan penerapan randomisasi dan double blind
  • Kesulitan dalam menstandarkan  intervensi dalam pendidikan.
  • Pengaruh intervensi dalam pendidikan mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor lain sehingga pengaruh intervensi tersebut seakan-akan lemah.

Masalah yang dihadapi dalam melakukan evaluasi kurikulum, adalah sebagai berikut:

  1. Dasar teori yang digunakan dalam evaluasi kurikulum lemahDasar teori yang melatarbelakangi kurikulum lemah akan mempengaruhi evaluasi kurikulum tersebut. Ketidakcukupan teori dalam mendukung penjelasan terhadap hasil intervensi  suatu kurikulum yang dievaluasi akan membuat penelitian (evaluasi kurikulum) tidak baik. Teori akan membantu memahami kompleksitas lingkungan pendidikan yang akan dievaluasi. Contohnya Colliver mengkritisi bahwa Problem Based Learning (PBL) tidak cukup hanya menggunakan teori kontekstual learning untuk menjelaskan efektivitas PBL. Kritisi ini ditanggapi oleh Albanese dengan mengemukakan teori lain yang mendukung PBL yaitu, information-processing theory, complex learning, self determination theory. Schdmit membantah bahwa sebenarnya bukan teorinya yang lemah akan tetapi kesalahan terletak kepada peneliti tersebut dalam memahami dan menerapkan teori tersebut dalam penelitian.
  2. Intervensi pendidikan yang dilakukan tidak memungkinkan dilakukan BlindedDalam penelitian pendidikan khususnya penelitian evaluasi kurikulum, ditemukan kesulitan dalam menerapkan metode blinded dalam melakukan intervensi pendidikan. Dengan tidak adanya blinded maka subjek penelitian mengetahui bahwa mereka mendapat intervensi atau perlakuan sehingga mereka akan melakukan dengan serius atau sungguh-sungguh. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan bias dalam penelitian evaluasi kurikulum.
  3. Kesulitan dalam melakukan randomisasiKesulitan melakukan penelitian evaluasi kurikulum dengan metode randomisasi dapat disebabkan karena subjek penelitian yang akan diteliti sedikit atau kemungkinan hanya institusi itu sendiri yang melakukannya. Apabila intervensi yang digunakan hanya pada institusi tersebut  maka timbul pertanyaan, “apakah mungkin mencari kelompok kontrol dan randomisasi?”.
  4. Kesulitan dalam menstandarkan intervensi yang dilakukan/kesulitan dalam menseragamkan intervensi.Dalam dunia pendidikan sulit sekali untuk menseragamkan sebuah perlakuan cotohnya penerapan PBL yang mana memiliki berbagai macam pola penerapan. Norman (2002) mengemukakan tidak ada dosis yang standar atau fixed dalam intervensi pedidikan. Hal ini berbeda untuk penelitian di biomed seperti pengaruh obat terhadap suatu penyakit, yang mana dapat ditentukan dosis yang fixed. Berbeda dengan penelitian evaluasi kurikulum misalnya pengaruh PBL terhadap kemamuan Self Directed Learning (SDL). Penerapan PBL di berbagai FK dapat bermacam-macam. Kemungkinan penerapan SDL dalam PBL di FK A 50 % , sedangkan di FK B adalah 70 % , maka apabila mereka dijadikan subjek penelitian maka tentu saja pengaruh PBL terhadap SDL akan berbeda.
  5. Masalah Etika penelitianMasalah etika penelitian merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Penerapan intervensi dengan metode blinded dalam penelitian pendidikan sering terhalang dengan isu etika. Secara etika intervensi tersebut harus dijelaskan kepada subjek penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Padahal apabila suatu intervensi diketahui oleh subjek penelitian maka ada kecendrungan subjek penelitian melakukan dengan sungguh-sungguh sehingga penelitian tidak berjalan secara alamiah.Pengaruh hasil penelitian terhadap institusi juga perlu dipertimbangkan. Adanya prediksi nantinya pengaruh hasil penelitian yang akan menentang kebijaksanaan institusi dapat mengkibatkan kadangkala peneliti menghindari resiko ini dengan cara menghilangkan salah satu variable dengan harapan hasil penelitian tidak akan menentang kebijaksanaan.
  6. Tidak adanya pure outcomeOutcome yang dihasilkan dari sebuah intervensi pendidikan seringkali tidak merupakan outcome murni dari intervensi tersebut. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor penganggu yang mana secara tidak langsung berhubungan dengan hasil penelitian. Postner dan Rudnitsky, 1994 juga mengemukakan dalam outcome based evaluation terdapat informasi mengenai main effect dan side effect sehingga kadangkala peneliti kesulitan membedakan atara main effect dan side effect ini.
  7. Kesulitan mencari alat ukurEvaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.
  8. Penggunaan Perspektif kurikulum yang berbeda sebagai pembandingPostner mengemukakan ada lima perspektif dalam kurikulum yaitu traditional, experiential, Behavioral, structure of discipline dan constructivist. Masing-masing perspektif ini memiliki tujuannya masing-masing. Dalam melakukan evaluasi kurikulum kita harus mengetahui perspektif kurikulum yang akan dievaluasi dan perspektif kurikulum pembanding. Hal ini sering terlihat dalam evaluasi kurikulum dengan menggunakan metode comparative outcome based yang bila tidak memperhatikan masalah ini akan melahirkan bias dalam evaluasi. Kurikulum dengan perspektif tradisional tentu saja berlainan dengan kurikulum yang memiliki perspektif konstruktivist. Contoh kurikulum tradisional menekankan pada recall of knowledge sedangkan kurikulum konstruktivist menekankan pada konsep dasar dan ketrampilan berpikir. Apabila ada penelitian yang menghasilkan bahwa kurikulum tradisional di pendidikan dokter lebih baik dalam hal knowledge dibandingkan dengan PBL hal ini tentu saja dapat dimengerti karena perspektifnya berbeda. Penelitian yang menggunakan metode perbandingan kurikulum yang perspektifnya berbeda ini seringkali menjadi kritikan oleh para ahli.

G. Penutup

Evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang  kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan. Secara sederhana evaluasi kurikulum dapat disamakan dengan penelitian, karena evaluasi kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Evaluasi kurikulum penting dilakukan dalam rangka  penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar. Ada banyak masalah dalam penerapan evaluasi kurikulum seperti dasar teori yang digunakan dalam evaluasi kurikulum lemah, intervensi pendidikan yang dilakukan tidak memungkinkan dilakukan blinded, kesulitan dalam melakukan randomisasi, kesulitan dalam menstandarkan intervensi yang dilakukan, masalah etika penelitian, tidak adanya pure outcome, kesulitan mencari alat ukur dan penggunaan perspektif kurikulum yang berbeda sebagai pembanding.

Oleh karena itu dengan memahami pengertian evaluasi kurikulum dan persamaan serta perbedaannya dengan  penelitian  diharapkan evaluasi kurikulum yang akan dibuat dapat menjadi valid, reliabel dan sangat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan tentang kurikulum tersebut.

===== 000 =====

REFERENSI

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

MODEL-MODEL EVALUASI KURIKULUM

MATA KULIAH :

PENGEMBANGAN KURIKULUM

OLEH :

F A D L I

A.  Pendahuluan

Evaluasi kurikulum merupakan tahap terakhir dari suatu pengembangan kurikulum. Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya mauipun pada pengambilan keputusan pada khususnya. Hasil-hasil dari evaluasi tersebut dapat digunakan oleh para pengembang kurikulum dan pemegang kebijaksanaan kurikulum dalam pengembangan system pendidikan.

Dalam konteks evaluasi kurikulum, kegiatan evaluasi dilakukan pada semua komponen, yang meliputi:

  • Evaluasi penjajakan kebutuhan dan kelayakan kurikulum
  • Evaluasi pengembangan kurikulum
  • Evaluasi proses belajar-mengajar
  • Evaluasi bahan pembelajaran
  • Evaluasi keberhasilan (produk) kurikulum, dan
  • Riset evaluasi kurikulum

Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  apa saja model-model evaluasi kurikulum? Oleh karena itu, maka makalah ini bertujuan untuk mengetahui model-model evaluasi kurikulum.

  1. B. Objek-Objek Evaluasi Kurikulum
  2. 1. Komponen Tujuan

Komponen tujuan yang dinilai berhubungan dengan tujuan jenjang diatasnya. Yaitu tujuan institusional dan selanjutnya dikaitkan dengan tujuan nasional. Tujuan merupakan acuan dari seluruh komponen dalam Kurikulum terlebih dahulu harus dirumuskan sehingga dengan jelas menggambarkan apa yang hendak dicapai.

  1. 2. Komponen Isi/Materi Pelajaran

Maksud isi kurikulum adalah keseluruhan materi yang diprogramkan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Komponen isi kurikulum yang menjadi objek evaluasi, bersumber dari garis-garis besar program pengajaran, untuk setiap mata pelajaran, yang mencangkup pokok-pokok bahasan satuan waktu tertentu.

  1. 3. Stategi Pengajaran

Komponen ini meliputi berbagai upaya dan penunjang yang diperlukan untuk mencapai tujuanberdasarkan isi yang ditetapkan. Komponen ini melalui berbagai pendekatan dan metode pengajaran, serta peralatan yang digunakan oleh setiap mata pelajaran. Termasuk dalam komponen ini adalah evaluasi proses dan hasi belajar dari setiap mate pelajaran.

  1. 4. Media

Komponen media meruipakan perantara untuk menjabarkan isi kurikulum secara lebih rinci sehingga dapat dicerna dengan sebaik-baiknya oleh siswa.

  1. 5. Proses Belajar Mengajar

Komponen belajar-mengajar merupakan komponen kurikulum yang nantinya akan menghasilkan perubahan perilaku(kognitif, afektif dan psikomotorik) para siswa sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

  1. 6. Komponen Penunjang

Komponen penunjang merupakan salah satu komponen yang harus dievaluasi. Sebab, komponen ini berhubungan dengan pelaksanaan kurikulum secara keseluruhan. Yang tergolong dalam komponen penunjang antara lain:Sisteb administrasi dan supervise, system pelayanan bimbingan dan penyuluhan bagi siswa, dan system evaluasi.

Mengingat pentingnya evaluasi itu, maka alat yang digunakan dalam evaluasi harus memenuhi criteria sebagai berikut:

  • alat evaluasi harus sesuai dengan sasaran yang hendak dituju.
  • Alat yang digunakan harus terpercaya (valid)
  • Alat yang digunakan harus terandalkan (reliable)
  • Alat evaluasi harus signifikan atau dapat dipercaya
  1. C. Model Evaluasi Kurikulum
  2. 1. Model CIPP (Contex, Input, Process, dan Product)

Contex adalah penilaian yang berkaitan dengan usaha-usaha penemuan kebutuhan murid dengan berbagai masalah yang bersifat deskriftif komparatif.

Input (pemasukan) yakni penilaian yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana menggunakan sumber-sumber untuk mencapai tujuan.

Proses yaitu penilaian yang dilakukan pada saat program berlangsung.

Product yakni penilaian yang berupaya untuk mengukur dan menafsirkan pencapaian suatu program.

  1. 2. Model EPIC (Evalution Program Innovative Curriculum)

Menurut model ini, evaluasi kurikulum mencangkup tiga penilaian  yaitu:

  • prilaku yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik
  • pengajaran adalah penilaian terhadap organisasi, isi metode, fasilitas dan biaya
  • Institusi yakni penilaian yang berkaitan dengan siswa, guru, administrator spesialisasi pendidikan, keluarga dan masyarakat.
  1. 3. Model CEMREL ( Central Midwestern Regional Education)

Model ini menitik beratkan pada tiga aspek:

  • Siswa mediator dan material
  • Evaluasi yang berkaitan dengan kegiatan yang sedang berjalan dan evaluasi pada akhir kegiatan dan akhir kegiatan
  • Skala respon kuestioner dan observasi.
  1. 4. Model Atkinson

Penilaian yang diarahkan pada tiga dominant:

  • struktur
  • proses
  • Produk
  1. 5. Model Stake

Bahwa dalam evaluasi mencangkup pemerian dan pertimbangan mengenai program pendidikan. Dalam program pendidikan ada tiga fase yang perlu mendapatkan perhatian. Yakni, pendahuluan, transaksi dan hasil.

  1. D. Model Evaluasi Kurikulum yang Lain
  2. 1. Model Measurement

Objek evaluasi mencangkup hasil belajar, terutama yang dapat diukur dengan “paper dan pencil test”. Dengan demikian data yang dipergunakan dalam model ini hanya terbatas pada data objektif, khususnya skor hasil test.

  1. 2. Model Congruence

Objek evaluasi meliputi semua hasil belajar siswa yang mencangkup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan demikian data yang dipergunakan dalam model cenderung pada data objektif berupa skor test dan tehnik lainnya.

  1. 3. Model Illumunatif

Objek evaluasinya mencangkup latar belakang , proses pelaksanaan, hasil belajar dan kesulutan-kesulitan yang dihadapi. Data yang digunakan dalam model ini lebih banyak merupakan data subjektif hasil keputusan dari berbagai pihak.

  1. E. Penutup

Evaluasi kurikulum merupakan tahap terakhir dari suatu pengembangan kurikulum. Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya mauipun pada pengambilan keputusan pada khususnya. Hasil-hasil dari evaluasi tersebut dapat digunakan oleh para pengembang kurikulum dan pemegang kebijaksanaan kurikulum dalam pengembangan system pendidikan.

Model-model Evaluasi Kurikulum, diantaranya:

  • Model CIPP (Contex, Input, Process, dan Product)
  • Model EPIC (Evalution Program Innovative Curriculum)
  • Model CEMREL ( Central Midwestern Regional Education)
  • Model Atkinson
  • Model Stake

===== 000 =====

REFERENSI

Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata,  Nana S. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.